Sabtu, 07 Desember 2013

I Left You In Surabaya

0


“Haruskah kau pergi?”
            Butiran – butiran sebening kaca itu terasa panas ketika jatuh membasahi pipiku. Mata bulatku menatap wajah Rio yang sedang tersenyum manis dengan sendu.
            “Aku pasti kembali!”
            Rio melepaskan genggaman tanganku dari tangannya dengan lembut. Tersenyum, lalu membalikan tubuhnya dan melangkahkan kakinya menuju gate dua Bandara Juanda, Surabaya.
*****
Surabaya, 16 september 2013
            Drrt.. Drrt.. Drrt..
            “Hey, putri tidur? Jam berapa ini? Kenapa kau masih berada di atas ranjang dan bersembunyi di balik selimut tebalmu, huh?”
            “Rio?” Mataku langsung terbuka dengan lebar begitu mendengar suara Rio dari telepon selularku.
            “Aku sudah ada di depan pagar rumahmu!”
Seketika aku menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhku. Lalu loncat dari atas ranjang menuju ke jendela. Aku menyibak tirai kamarku yang berwarna kebiruan. Secercah sinar sang mentari langsung menyeruak masuk dan menyilaukan mataku yang tanpa softlens.
            Aku mendongak ke bawah untuk melihat seseorang yang sedang berdiri di depan pagar rumah. Aku mengucek mataku dengan kedua punggung tanganku untuk memperjelas penglihatanku yang masih samar – samar. Aku juga sedang berusaha mengumpulkan nyawa – nyawaku yang baru saja bangkit dari alam tidur.
            Mata bulatku yang sebenarnya masih mengantuk langsung terbelalak lebar begitu melihat Rio. Ia berdiri di depan pagar rumah. Rambutnya menari – nari di udara karena tertiup angin pagi yang masih terasa segar.
Rio mengenakan kaos Nevada berwarna putih dan hem biru tua bermotif kotak – kotak. Sebagai bawahan ia memakai celana jeans merek loggo yang berwarna senada dengan hemnya. Tak lupa sepatu bermain AF (American Football) andalannya bertengger dengan sempurna di kaki jenjangnya
Rio tersenyum ketika pujaan hatinya sedang mengintipnya dari balik tirai jendela. Ia melambaikan tangan dengan senyum yang tetap menghiasi wajah ovalnya.
            “Lima menit.”
            “Apanya?” tanyaku tak mengerti.
            “Aku beri kau waktu lima menit untuk bersolek. Dandan yang cantik, awas kalau jelek, akan ku tinggal kau di kolong Jembatan Merah. Jika lebih dari lima menit, akan ku tinggal kau dan berkencan dengan wanita lain!”
            “Apa maksud….”
            Suara sambungan telepon yang terputus terdengar nyaring di telingaku. Aku menatap Rio dengan kesal. Namun ia hanya membalasnya dengan sebuah senyuman.    
            “Ckck, selalu saja seperti ini.”
******
            “Jadi, kau membangunkanku pagi – pagi buta dan memaksaku untuk cepat – cepat berdandan hanya untuk membawaku kemari? Kau…”
            “Kau pasti belum sarapan bukan? Diam dan makanlah donat itu sampai habis, oke?”
            Rio langsung memasukan donat kentang kesukaanku ke dalam mulut begitu aku mulai membuka mulut untuk protes padanya. Ia tahu benar kebiasaan burukku yang selalu tiak bisa tinggal diam jika mendapati sesuatu yang tidak ku sukai. Aku akan langsung protes dan ngomong panjang lebar untuk mengungkapkannya.
Terkadang, Rio sampai menutup telinganya karena sudah tidak tahan dengan omelanku. Bahkan yang lebih parah lagi, Rio pernah meninggalkanku sendirian saat ulang tahunku karena aku marah – marah padanya yang hanya demi menjadi orang pertama untuk mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Ia rela datang tengah malam sembari membawa balon bertuliskan “Happy Birthday”, saat cuaca di luar sedang hujan.
            “Mau jalan kaki atau naik kapal?”
            Aku hanya diam sambil mengunyah donat kentang yang tadi dimasukan Rio ke mulutku.
            “Karena kau diam, berarti kau memilih jalan kaki. Ayo kita mulai!”
            Rio menarik tangan Feni dan mengajaknya untuk menyusuri area Ekowisara Mangrove Wonorejo Surabaya.
Sebenarnya kami bisa menikmati keindahan Hutan Mangrove Surabaya dengan naik kapal yang harganya 25.000,00 per orang. Kami dapat naik kapal tersebut di dermaga kecil di pintu masuk objek wisata yang letaknya di pinggiran sungai. Perahu yang itu akan mengantarkan penumpang kami menuju ke muara sungai dan langsung berjumpa dengan laut bagian timur Surabaya.  Perjalanan sekitar 30 menit dari dermaga hingga muara sungai. Hutan bakau yang masih alami dengan berbagai macam hewan yang hidup didalamnya menjadi pemandangan sepanjang perjalanan.
Namun kami sudah pernah naik kapal tersebut dulu saat datang ke Mangrove bersama anak – anak sepuluh Animasi B. Sekarang mungkin Rio ingin mencoba sesuatu yang berbeda dengan berjalan kaki untuk menikmati keindahan Hutan Mangrove ini.
Rio berjalan sembari mengenggam telepak tangan kananku erat – erat. Seolah tak ingin melepaskannya. Seolah ia akan berpisah jauh dariku dan akan sangat merindukan waktu – waktu ketika kami sedang bersama.
Kami berjalan melewati jalan setapak yang terbuat dari kayu ulin dan batang – batang pohon. Panjang jalan setapak itu kurang lebih 500 meter.  Di atas jalan tersebut banyak coretan – coretan dari tangan – tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Termasuk aku dan anak sepuluh Animasi B.
“Her, lihat itu!”
Aku menunjuk ke sebuah tulisan di atas jalan yang di tulis dengan Tipe X (stipo). Kebanyakan coretan – coretan di sepanajng jalan Hutan Mangrove ini memang di tulis dengan Tipe X.
“Oh, itu?”
Rio tersenyum membaca tulisan “X animasi B, angkatan 2012-2013” yang tertulis di atas jalan setapak yang terbuat dari kayu ulin tersebut. Dulu saat kami dan anak – anak sepuluh animasi B kemari, kami memang mengukir nama kelas kami di sana untuk menandakan bahwa kelas kami sudah pernah mengunjungi Hutan Mangrove ini, sama seperti yang lainnya.
Kami melanjutkan perjalanan kami kembali menuju ke gazebo. Di kanan kiri jalan, banyak pohon bakau hijau yang tumbuh tinggi menjulang. Selain pemandangan dari pohon bakau tersebut, ada juga pemandangan lainnya yang tak kalah seru. Di pinggir – pingir jalan setapak tersebut banyak orang yang sedang memancing ikan atau hanya untuk duduk – duduk santai. Ada juga orang yang melakukan foto pre wedding ketika kami menyusuri jalan tersebut. Sehingga akhirnya kami harus mengucapkan ‘permisi’ untuk meminta jalan sebentar kepada orang – orang yang sedang melakukan foto Pre Wedding tersebut.
Pemandangan yang disuguhkan dengan jalan kaki melewati tambak-tambak lebih menarik daripada naik kapal, pohon dan rerumputan hijau, ditambah gubuk-gubuk kecil, kalau difoto kesannya lebih artistik.
Setelah berjalan kurang lebih empat puluh lima menit. Akhirnya kami tiba di pondok bambu yang sengaja dibangun untuk tempat peristirahatan bagi pengunjung dan sebagai salah satu spot andalan Ekowisata Hutan Mangrove ini.
Ada dua pondok yang dibangun dengan jarak yang berdekatan. Satu diantaranya dibangun 2 tingkat sehingga dari lantai bagian atas, kita dapat melihat pemandangan hutan bakau secara keseluruhan dan laut lepas. Sebelum menuju ke kedua pondok tersbeut, kami harus melalui jalan setapak yang terbuat dari anyaman bambu atau yang sering disebut bedeg.
Pemandangan yang indah dan alami sangat terasa ketika melewati jalan yang terbuat dari bambu ini. Teduh dan hijau dengan hembusan angin laut membuat panas terik matahari tidak terasa saat melalui jalan yang menyerupai terowongan bakau ini.
Istirahat di dalam gazebo dengan angin sepoi-sepoi dari laut. Aku mengintip dari lantai dua gazebo dan melihat banyak pohon bakau masih kecil – kecil. Sepertinya disini baru saja diadakan acara penanaman seribu pohon.
Rambut panjangku hitamku yang tergerai melambai – lambai diterbangkan oleh angin. Rambut itu menyentuh hidung Rio dan membuatnya berseru, “Hmmm…”
“Aku selalu suka aroma shampomu, Fen.”
Rio menutup matanya dan masih menghirup dalam – dalam aroma shampoo Feni yang disebarkan melalui rambutnya yang melambai – lambai.
******
            Setelah mengajakku untuk jalan – jalan di Hutan Mangrove dan makan siang disana, Rio mengajakku untuk pergi ke Kampoeng Ilmu membeli buku tutorial Maya[1]. Alasan kawasan tersebut disebut Kampoeng Ilmu karena  kawasan tersebut hanya khusus menjual buku-buku, mulai buku umum, buku pelajaran, majalah bekas, hingga komik. Buku adalah guru yang setia setiap saat dalam memberikan ilmu dan pengetahuan. Karena itulah, kawasan itu dinamakan Kampoeng Ilmu, kampung penuh ilmu, penuh buku.
Sebenarnya, tidak hanya buku bekas, ada beberapa stan yang juga menjual buku yang tergolong keluaran baru. Baru setahun dua tahun maksudnya.
Stan-stan buku menyebar di sekeliling Kampoeng Ilmu. Mulai stan kecil maupun yang agak besar. Koleksi buku-buku, majalah, dan komik jadul di sana bisa dikatakan menggiurkan, terutama bagi para pencinta buku. Lebih khusus lagi, buku-buku lawas yang sudah sulit ditemui di toko-toko buku atau yang tidak dicetak ulang lagi.
            Jika beruntung, kami bisa mendapatkan buku The Beatles: A Hard Days Night yang mengupas kesuksesan di balik penjualan album A Hard Days Night milik band kondang asal Liverpool, Inggris, yang dimotori John Lennon, Paul Mc Cartney, George Harisson, dan Ringo Star tersebut.
            Rio berkeliling untuk mencari beberapa buku tutorial software animasi 3D seperti Blender, Maya dan 3D Max. Beruntungnya, hari ini semua buku yang cari mampu ia dapatkan. Dengan harga yang murah abis pula. Per buku hanya Rp 10.000,00. Padahal kalau di Gramedia harga buku – buku tersebut bisa mencapai Rp 40.0000,00 sampai Rp 60.000,00.
Puas keliling-keliling stan buku bekas di Kampoeng Ilmu, kami beristirahat sejanak di joglo yang berada di dekat parkiran. Kami membeli segelas es jeruk dan meminta dua sedotan. Cuaca yang cukup terik membuat tenggorokan kami kehausan dan hampir dehidrasi karena kekurangan cairan setelah naik motor melewati panas dan macetnya kota Surabaya dari Hutan Mangrove ke Kampoeng Ilmu.
Rio mengerlingkan salah satu matanya ke arahku, membrikan isyarat agar segera memulai. Aku menganggukan kepalaku ringan seraya tersenyum.
Aku mendekatkan mulutku ke salah satu sedotan di gelas Es Jeruk yang tadi kami pesan. Rio juga melakukan hal yang sama denganku. Kami menyeruput es itu sembari menatap wajah satu sama lain dari jarak yang sangat dekat.
“Dasar anak muda. Kalau sudah dilanda cinta, serasa dunia milik berdua saja!” pekik seseorang yang duduk tak jauh dari kami. Pipiku langsung menyemu merah ketika mendengar hal itu. Seketika aku langsung menjauhkan wajahku dari gelas dan memegang kedua pipiku yang menyemu merah karena malu.
Rio yang sedari dulu sangat cuek orangnya, sama sekali tak mempermasalahkan apa yang di katakana orang itu tadi. Ia hanya tersenyum memandangiku yang salah tingkah karena malu.
“Bodoh! Kenapa kau bisa lupa kalau ini tempat umum Feni??”
Aku memukul kepalaku gemas. Rio terkekeh melihat kelakuanku yang selalu seperti anak kecil.
Tak jauh dari tempatku duduk, terlihat seorang bapak bersama dua anaknya yang sibuk membaca buku. Mata dua bocah lekaki itu berbinar, terkadang diselingi senyum kecil. Melihat mereka larut dalam bacaannya, sungguh hatiku sangat gembira. Aku membayangkan betapa hebatnya jika budaya baca itu sudah tertanam sejak kecil. Sesuatu yang masih belum berurat akar di Indonesia.
********
“Kapan kau akan membuka penutup mataku?” tanyaku kesaal.
Sejak kami pergi dari Kampoeng Ilmu. Rio menutup mataku rapat – rapat dengan sapu tangannya dan tak mengizinkanku membukanya hingga ia menyuruhnya untuk membuka.
Rio menuntunku berjalan untuk memasuki lift. Entah lantai berapa yang ia tekan di tombol merah. Aku benar – benar tak dapat melihatnya karena kegelapan yang tercipta dari sapu tangan Rio.
“Masih lamakah?”
Aku berdecak kesal. Sedari tadi Rio tak menjawab pertanyaanku dan diam seribu bahasa. Tak tahukan ia kalau aku sangat tersiksa dengan sapu tangannya yang melingkar dengan cukup erat di mataku ini?
“Bukalah!”
Aku langsung membuka mataku begitu Rio memintanya. Aku mengucek mataku sebentar, menyesuaikannya dengan cahaya sekitar. Penglihatanku masih sedikit kabur karena sisa – sisa cengkraman sapu tangan Rio yang sebenarnya membuat mataku sedikit sakit.
Begitu mendapatkan penglihatanku dengan sempurna aku langsung memekik dengan keras namun tertahan karena refleks aku menutup mulutku karena tak percaya dengan apa yang aku lihat.
Angin berhembus sepoi-sepoi, atap-atap rumah tampak seperti miniatur, dan dari kejauhan, menara gedung pencakar langit menyapa dengan ramah. Kursi-kursi rotan bercat putih ditata rapi mengelilingi meja-meja kaca bundar, ditambah suara derak lantai kayu ketika dipijak membuatku serasa berada di negeri dongeng.
“Silahkan duduk tuan putri!”
Rio menarik sebuah kursi dan mempersilahkanku duduk di sana layaknya seorang putri raja.
“Terima kasih,” jawabku seraya tersenyum.
Waitress datang dan membawa buku menu. Ia meletakkan buku menu itu di atas meja kaca yang terdapat lampu sorot berwarna putih di bawahnya. Lampu itu berguna untuk melihat daftar menu yang terbuat dari acrylic.
“Bimbimbap[2], Chicken Cordon Blue, Sparkling Summer[3], Crispy Bread and Butter Pudding with Espresso dan Beauty Sport[4].”
“Kau pesan banyak sekali? Apa tidak mahal? Restoran apa ini? Aku belum pernah kesini sebelumnya. Dan kau tahu? Aku sangat suka sekali restoran ini! So romantic!”
“Tidak ada yang mahal bagiku untukmu dan aku tahu segala hal tentangmu!” jawab Rio singkat.
Beberapa menit kemudian Waitress itu datang sambil membawa pesanan yang tadi di pesan Rio. Rio menyuruhku untuk mencoba Bimbimbap dan Sparkling Summernya. Sementara Chiken Cordon Blue dan Beauty Sport menjadi santapannya.
Makanan kami sudah habis, sekarang tersisa Crispy Bread and Butter Pudding di atas meja. Rio mengambil sendok dan menyuapiku. Setelah itu, ia membuka mulutnya dan memberi isyarat padaku untuk menyuapinya. Aku mengerti dan langsung menyuapinya sesendok pudding. Tiba – tiba terdengar suara iringan music dari sebuah gitar dan piano yang memainkan lagu jazz.
Dinner bersama Rio di restoran atap, di temani oleh angin musim panas yang bertiup dengan tangan, pemandangan kelap – kelip kota Surabaya saat malam hari serta iringan suara jazz membuat bulu romaku merinding.
Jika meman ini semua hanya mimpi. Bisakah waktu berhenti berputar di sini dan mengizinkanku untuk merasakan malam yang sangat bahagia ini untuk beberapa saat?
“Bukan, ini bukan mimpi!”
Rio tersenyum, melihatku mengarahkan pandangan ke seluruh sudut ruangan dengan tatapan kagum. Seolah ia tahu apa yang ada dalam pikiranku.
“Feni…”
“Hmmmm?”
Rio memegang tanganku dan menatapku lekat – lekat. Seketika aku langsung mengalihkan pandanganku ke arahnya begitu ia mulai menyentuh tanganku.
“Aku lulus tes dan  di terima magang di Batam.”
Segurat senyum langsung terukir manis di sudut bibirku begitu mendengar Rio mengatakan kalau ia di terima.
“Dan itu artinya aku harus menetap di sana dan jauh darimu selama enam bulan. Kau tak apa?”
“Jangan sia – siakan kesempatanmu ini. Kesempatan tak akan datang dua kali!”
Aku berusaha menahan agar air mataku tidak tumpah begitu mendengar Rio akan berada jauh dariku selama enam bulan. Sebenarnya aku sudah merasa aneh daritadi semenjak pertama kali ia datang dan membangunkanku pagi – pagi. Aku merasa ada sesuatu buruk yang ingin ia katakana padaku. Dan feelingku sangat tepat dan tidak meleset sama sekali.
“Pergilah, kejarlah cita – citamu. Gapailah impianmu!”
Aku berusaha meyakinkan Rio jika ia akan baik – baik saja tanpa Rio disisinya selama enam bulan. Ia tak ingin menjadi penghalang bagi Rio untuk mencapai kesuksesannya.
******
Bandara Juanda Surabaya, 17 september 2013
“Haruskah kau pergi?”
            Butiran – butiran sebening kaca itu terasa panas ketika jatuh membasahi pipiku. Mata bulatku menatap wajah Rio yang sedang tersenyum manis dengan sendu. Walaupun aku sudah menahannya agar tidak jatuh, namun akhirnya ia jatuh juga. Bagai air bah yang datang saat musim penghujan.
            Rio memelukku dengan erat. Berusaha menenangkanku. Aku malu pada ibunya yang berdiri di sampingnya dengan sikap yang sangat tegar. Namun apa dayaku? Aku memang tak bisa setegar ibunya ketika harus berpisah dengannya selama enam bulan! Gila! Setengah tahun. Bisa kau bayangkan?
            Rio menghapus air mata di pelupuk mataku. Ia tersenyum dan berusaha menghiburku.
            “Aku pasti kembali!”
            “Kau janji?”
            “Aku, Muhammad Heriadi Satrio berjanji akan kembali untuk Feni Yuli A.”
            Entah kenapa kata – kata yang baru saja keluar dari mulut Rio sedikit menenangkanku.
            Rio mengeluarkan sebuah kalung yang berliontinkan cincin dari saku celananya.
            “Ini cincin turun – temurun dari keluargaku. Aku benar – benar ingin serius denganmu. Tolong jaga ini baik – baik. Kau mau menjaganya untukku bukan?”
            Aku tersenyum seraya mengangguk pelan.
            “Aku pergi dulu ya. Ibu aku pergi dulu. Jaga diri ibu baik – baik. Aku menyayangi ibu.”
            Rio melepaskan genggaman tanganku dari tangannya dengan lembut. Tersenyum, lalu membalikan tubuhnya dan melangkahkan kakinya menuju gate dua Bandara Juanda, Surabaya.
            Aku dan ibu Rio memandangi kepergian dengan senyum. Senyum bahagia sekaligus sedih. Ibu Rio mendekapku ke dalam pelukannya, mengajakku berbagi rasa dengannya.
-THE END-





[1] Maya : Software 3D animasi
[2] Bimbimbap : Nasi campur daging wagyu (Makanan khas Korea)
[3] Sparkling Summer : Sejenis minuman yang terbuat dari soda, pineapple, guava, orange and grenadine syrup
[4] Beauty Sport : Sejenis minuman yang terbuat dari Sirup grenadine, dry martini, sweet martini, martini roso, gin, dan sirup jeruk

Kamu Berbeda

0




 “Kalo aku menang, kamu harus menerimanya ya?”
Sebuah senyum berkembang dengan elok di wajah Isa begitu mendengar apa yang dikatakan Nirvana. Seelok bunga mawar yang sedang mekar. Namun tak ada yang mau mendekatinya karena duri ditubuhnya. Seperti itu pula arti senyuman di wajah Isa saat ini. Indah tapi menyakitkan.
Tangannya tak berhenti mendrible bola dengan lincah. Dari kanan ke kiri dengan tempo waktu yang tepat. Sorot matanya yang tajam menusuk selaput pelangi Nirvana. Walaupun bertarung melawan kekasihnya sendiri, Isa sama sekali tak berminat untuk mengalah. Ia tak memberikan sedikit pun celah pada Nirvana untuk merebut bola darinya dengan mudah.
“Apa? PD sekali kau ini?” balas Isa santai. Pandangannya masih fokus pada Nirvana, mencari kesempatan saat dia lengah.
Nirvana berdecak kesal mendengar apa yang dikatakan Isa. Ia menautkan kedua alisnya dan meningkatkan konsentrasinya. Seuntai senyum yang tak asing bagi Nirvana mulai mekar di wajah Isa.
Deg…
Sebuah perasaan yang aneh tiba – tiba menyelinap ke dalam hati Nirvana ketika melihat Isa menaikkan salah satu sudut bibirnya. Dalam waktu sepersekian detik perasaan itu terbukti kebenarannya.
Mata Nirvana membulat lebar begitu Isa berhasil melewatinya. Desahan angin yang mengiringinya ketika ia melewati Nirvana terasa sangat cepat berlalu.
Suara decitan sepatunya yang menggesek lantai memekakan telinga. Suara bola yang berulang kali ia pantulkan juga tak kalah menyakitkannya. Panasnya aula hari itu semakin menjadi dengan apa yang baru saja dilakukan Isa. Bulir demi bulir keringat terjun bebas dari dahi Nirvana dan Isa. Deru nafas mereka tak beraturan. Tiba – tiba tubuh Nirvana terasa beku, mati rasa. Tak mampu untuk digerakkan sama sekali.
“Kau harus berlatih seribu tahun lagi untuk mengalahkanku!”
Dunk! Isa memasukkannya ke dalam ring dan ia menang. Secepat cahaya bergerak, bola kembali jatuh dan memantul ke luar lapangan. Kaki Isa sudah kembali menginjak lantai begitu ia menyelesaikan dunk-nya. Seperti biasa, ia tak pernah kalah dari Nirvana. Tidak ada kata mengalah dalam kamus basketnya. Bahkan dengan gadisnya sekali pun.
“Kau menipuku!”
Isa dan Nirvana berjalan beriringan di tengah kerumunan banyak orang. Seperti biasa, Isa selalu menggunakan headset di telinga kanannya. Menurutnya, jika ia terus mendengarkan musik, maka otak kanannya bisa lebih berkembang. Kenapa? Karena otak kanan cenderung dengan hal – hal yang berbau seni dan musik adalah salah satunya. Dengan begitu, permainan basketnya akan lebih sempurna dan berseni jika ia bisa sukses menyeimbangkan kemampuan otaknya.
“Kau masih mengingat - ingat pertandingan kemarin?”
“Uuuh..” Nirvana mengembungkan pipinya. Wajahnya ia palingkan dari Isa. Ia masih tak terima karena dikalahkan dengan begitu mudahnya oleh Isa saat pertandingan one on one kemarin.
“Kau harus berlatih seribu tahun lagi untuk mengalahkanku! Stupid!
Nirvana berlari mendahului Isa. Ia berhenti lalu memutar tubuhnya tepat di depan Isa. Ia menarik lengan bajunya sedikit ke atas. Sorot matanya tajam, setajam pisau yang baru diasah. Ia memajukkan tubuhnya lebih dekat dengan Isa. Mengikis jarak antara wajah mereka.
“What? I’m stupid? Come on! Aren’t you the stupid one this world? Stupid stupid stupid!”
“And I’m the stupid one who you loves!” balas Isa seraya membuat wink semanis mungkin tepat di depan mata Nirvana.
Kebakaran! Itulah gambaran suasana hati Nirvana saat ini. Wajahnya merah padam mendengar apa yang baru saja dikatakan Isa. Mulutnya bungkam seketika. Tak mampu untuk membalas. Tubuhnya kembali membeku dan mati rasa. Saat ini, detik ini, dan menit ini, itu adalah kebekuan yang ia rasakan untuk kedua kalinya hari ini.
“Jangan berjalan mendahuluiku!” teriak Nirvana begitu menyadari Isa sudah berjalan lebih dulu di depannya. Ia membalikkan tubuhnya, lalu berlari secepat mungkin mengejar Isa.
Nirvana tak henti melemparkan pandangannya pada Isa. Pria di sampingnya itu terlihat sangat tampan dan casual. Di lihat dari sudut manapun, dia tetap keren. Ia merasa sangat beruntung karena Isa mau menerima cintanya waktu itu. Ia sendiri sama sekali tak mengira jika hal itu akan terjadi. Menurutnya, hari itu benar – benar keajaiban yang tak terlupakan!
Nirvana menutup mulutnya rapat – rapat. Ia tak kuat menahan tawanya untuk meledak jika mengingat kejadian itu. Kejadian yang sangat bodoh namun istimewa untuknya. Gadis – gadis lainnya, yang melakukan hal sama dengannya, langsung di tolak oleh Isa sebelum ia mengutarakan perasaannya. Sedangkan dia? Belum selesai ia mengatakannya, Isa sudah lebih dulu menerimanya.
“Butuh obat?” tanya Isa bingung melihat Nirvana yang cengigisan menahan tawa sedari tadi.
Nirvana menggelengkan kepalanya.
“Aku hanya memikirkan tentang betapa bodohnya sekaligus beruntungnya aku saat itu.”
“Saat kau mengungkapkan perasaanmu padaku tepat setelah aku memenangkan pertandingan?”
Langkah Nirvana terhenti seketika. Ia tak menyangka Isa bisa semudah itu mengetahui apa yang ada dalam pikirannya.
“Bagaimana kau bisa mengetahuinya?”
“Hhhhh….” Isa menaikkan salah satu sudut bibirnya sambil terus berjalan ke depan.
“Memangnya apa lagi yang ada di otakmu selain aku?”
“Sudah berapa kali aku mengatakannya padamu? Jangan berjalan mendahuluiku! Stupid!” teriak Nirvana seraya berlari mengejar Isa.
Hening, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut keduanya setelah percakapan tadi. Mereka berdua terus berjalan beriringan tanpa kata menuju ke bioskop. Naik dan turun eskalator dalam suasana yang begitu mematikan. Isa sibuk sendiri dengan ipod-nya. Sementara Nirvana bingung, tak tahu harus berkata apa untuk mencairkan suasana yang lebih dengin dari es di kutub itu.
“Kau hebat bisa menaklukan hati ibuku. Suaramu ketika mengaji sangat indah. Menyejukkan hati siapapun yang mendengarnya. Tak terkecuali aku.”
“Hah?” Spontan Nirvana memutar kepalanya menghadap Isa dan memperhatikannya.
“Sebelumnya aku sudah tertarik padamu. Kau berbeda. Kau tak pernah jadi orang lain hanya untuk mendapatkanku. Kau selalu melakukan yang terbaik untuk mendapatkan apa yang kau inginkan. Kau kuat dan tidak cengeng seperti perempuan lainnya. Bahkan ketika ibumu meninggal, kau bisa lebih kuat dari ayahmu. Kau juga ekspresif dan yang paling penting dari semua itu, kau perempuan yang baik.”
“Hanya itu?”
Kini giliran Isa yang menghentikkan langkahnya dan memutar kepalanya menghadap Nirvana. Ia memiringkan kepalanya. Mengamati Nirvana mulai dari ujung rambut sampai ujung kuku kaki. Matanya menyipit, tak mengerti dengan pertanyaan yang baru saja dilontarkan Nirvana.
“Apakah hanya itu pendeskripsianmu tentang aku? Harusnya kan kamu juga bilang kalo aku pinter, imut, jago masak….” Kata – kata Nirvana berhenti seketika karena Isa membekap mulutnya.
“Kita udah sampai. Kamu tunggu di sini sebentar ya, aku mau beli tiket! Jangan kemana – mana, entar nyasar lagi.” Isa berlari menuju antrian untuk membeli tiket begitu selesai menasehati Nirvana.
“Huft…. Emangnya aku anak kecil apa?” Nirvana melipat kedua tangannya di depan dada dan mendudukkan tubuhnya tak jauh dari tempat antrian tiket.
Beberapa menit kemudian Isa datang seraya tersenyum melihat wajah kesal Nirvana.
“Aku nunggu kamu sampai lumutan tahu nggak? Lama banget sih!”
“Ini kan weekend,” jawab Isa santai.
“Marah?” tanya Isa melihat Nirvana yang tak meresponnya sedari tadi.
“Hhh..” ungkap Nirvana seraya memalingkan wajahnya dari Isa.
“Ya udah kalo nggak mau. Aku nonton film Breaking Dawn sendiri aja.”
Nirvana langsung memutar kepalanya begitu mendengar apa yang dikatakan Isa. Senyuman perlahan merekah dan menghiasi wajahnya. Matanya berkaca – kaca menatap Isa.
“Kamu beli tiket film yang aku pilih?”
“Menurutmu?”
“Tapi kan aku kalah?”
“Kalah menang dalam pertandingan itu biasa.”
“Isa….”
“Hmmmm?”
“Aku sayang sama kamu, Mr. Coldest.”
Nirvana meraih tubuh Isa dan masuk ke dalam pelukannya. Perlahan, butiran – butiran bening itu bergulir keluar. Isa yang menyadari hal itu langsung ambil tindakan yang tepat tanpa menunggu lama. Dengan lembut, tangan Isa mulai membelai rambut Nirvana dan menenangkannya.
“Aku juga sayang sama kamu…. selalu….” bisik Isa di telinga Nirvana.
~ Fin
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com