Minggu, 29 Juni 2014

Penentu Indonesia

0



            “Berapa?” tanya seseorang dengan nada berbisik.
            “Lima puluh ribu.”
            “Tak bisakah lebih banyak?” tanya orang tersebut lagi. Ia sepertinya tak puas jika harus dihargai dengan lima puluh ribu. Nilai tersebut mungkin terlalu kecil baginya. Orang tersebut datang memakai banyak benda-benda mewah. Kalung, gelang, anting dan cincin. Semuanya berkilauan, menyilaukan setiap pasang mata di tempat tersebut. Selain itu, bajunya juga bermerek. Dress model Syahrini dengan dandanan yang cukup menor. Blush on, lipstick, eyeliner, semuanya dipakai secara berlebihan.
            “Bukankah sudah diberi pengarahan kemarin?”
            “Tak bisakah anda menaikkan sedikit nilainya untuk saya?” Orang tersebut mengedipkan sebelah matanya. Mungkin jika ia masih muda, hal itu akan manjur untuk merayu para petugas yang sedang duduk di hadapannya. Tapi ini?
            “Ini sudah kesepakatan. Maaf saya tak bisa mengubahnya.”
            Akhirnya wanita paruh baya tersebut hanya mampu mengerucutkan bibirnya. Ia mendesah kesal seraya mengambil salah satu temanku yang ditumpuk disamping para petugas. Temanku tersebut nampak resah dipegang oleh wanita itu dengan kuat. Diremas-remas.
Samar-samar dapat kudengar suara orang-orang yang sedang mengeluh menunggu gilirannya. Mereka mengibas-ngibaskan tangan mereka ke udara. Mungkin dengan begitu mereka akan merasa lebih baik.
Hari ini cuaca memang cukup terik. Musim hujan tak kunjung datang walaupun ini sudah memasuki bulan desember. Cuaca mulai tak menentu sejak global warming menjadi isu yang serius di dunia.
Satu persatu temanku mulai mendapatkan tuannya. Mereka hanya pasrah. Tak mampu berteriak, protes maupun meronta. Sekalipun bisa, para manusia itu tak akan mampu untuk mendengarkannya. Mereka mahluk hidup yang diberi akal dan pikiran. Namun terkadang, hanya karena segelintir uang dengan mudahnya mereka dapat ditipu. Bahkan orang-orang yang sudah memiliki kehidupan yang cukup mapan pun juga mengharapkan uang yang tak ada apa-apanya dengan nasib bangsa mereka lima tahun berikutnya. Yang mereka pikirkan hanyalah uang yang mereka dapatkan sekarang. Yah, tak peduli berapapun itu.
Aku mengerti mereka diliputi banyak masalah. Raut wajah mereka mengatakan semuanya padaku. Kesedihan, kebahagiaan, kebingungan, maupun kerakusan. Semua tercetak dengan jelas di wajah-wajah tersebut. Ajaibnya, dengan mudah aku dapat menebak artinya! Namun bukan berarti  itu bisa mereka jadikan alasan untuk menjual nasib bangsa mereka semurah itu bukan?
Sekarang aku sudah berada di bagian paling atas. Mungkin sebentar lagi giliranku. Masuk ke dalam bilik bersama salah satu orang yang rakus ini. Orang-orang yang tak mempedulikan bagimana nasib bangsa mereka kelak.
Seorang pemuda yang cukup tinggi mengambil diriku yang berada ditumpukan paling atas. Ia tersenyum seraya membawaku dengan penuh keyakinan masuk ke dalam bilik. Di dalam bilik, aku dapat melihat dengan jelas raut wajahnya. Perasaanya, berhadapan denganku.
Bulir-bulir bening mengucur dipelipisnya. Ia tak seyakin tadi ketika membawaku masuk. Ragu-ragu ia mulai mendekatkan sebuah benda yang bertubuh runcing padaku. Perlahan ia mulai mengarahkan benda tersebut pada gambar yang memiliki nomor urut tiga. Ia memejamkan matanya. Lalu menarik nafas dalam-dalam. Dimulai dengan membaca bismillah, ia menusukkan benda tajam itu padaku. Tepat pada gambar dengan nomor urut tiga. Setelah itu ia melipat-lipat tubuhku dan membawaku keluar dari bilik.
“Nomor satu kan?” tanya seseorang ketika ia akan memasukkan diriku ke dalam kotak. Ia hanya  tersenyum menanggapi perkataan orang tersebut. Tak berapa lama kemudian orang tersebut merogoh sakunya dan memberikan selembar uang berwarna biru bernominal lima puluh ribu kepada pemuda tersebut. Sekali lagi dengan sopan ia menolak uang tersebut dan memasukkanku ke dalam kotak.
“Dasar orang aneh!” celetuk petugas yang berjaga di kotak tempat aku sekarang berada. Pemuda tersebut mulai menjauh, meninggalkan tempat yang penuh dengan tindakan kotor ini.
Terkadang aku ingin bertanya pada orang-orang yang tega menjualku dengan selembar uang lima puluh ribu maupun seratus ribu. Apakah semurah itu harga kelangsungan negaranya lima tahun mendatang? Tak bisakah aku dan teman-temanku dihargai seperti pemuda tadi menghargaiku? Namun apa daya. Sekuat apapun aku berusaha, hingga suaraku serak dan habis sekali pun. Tak ada seorang pun yang mampu mendengarku. Tak akan pernah.
***
#NarasiSemesta (29 juni 2014)

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com