“Kalo aku menang, kamu harus menerimanya ya?”
Sebuah
senyum berkembang dengan elok di wajah Isa begitu mendengar apa yang dikatakan
Nirvana. Seelok bunga mawar yang sedang mekar. Namun tak ada yang mau
mendekatinya karena duri ditubuhnya. Seperti itu pula arti senyuman di wajah
Isa saat ini. Indah tapi menyakitkan.
Tangannya
tak berhenti mendrible bola dengan lincah. Dari kanan ke kiri dengan tempo
waktu yang tepat. Sorot matanya yang tajam menusuk selaput pelangi Nirvana.
Walaupun bertarung melawan kekasihnya sendiri, Isa sama sekali tak berminat
untuk mengalah. Ia tak memberikan sedikit pun celah pada Nirvana untuk merebut
bola darinya dengan mudah.
“Apa?
PD sekali kau ini?” balas Isa santai. Pandangannya masih fokus pada Nirvana,
mencari kesempatan saat dia lengah.
Nirvana
berdecak kesal mendengar apa yang dikatakan Isa. Ia menautkan kedua alisnya dan
meningkatkan konsentrasinya. Seuntai senyum yang tak asing bagi Nirvana mulai
mekar di wajah Isa.
Deg…
Sebuah
perasaan yang aneh tiba – tiba menyelinap ke dalam hati Nirvana ketika melihat
Isa menaikkan salah satu sudut bibirnya. Dalam waktu sepersekian detik perasaan
itu terbukti kebenarannya.
Mata
Nirvana membulat lebar begitu Isa berhasil melewatinya. Desahan angin yang
mengiringinya ketika ia melewati Nirvana terasa sangat cepat berlalu.
Suara
decitan sepatunya yang menggesek lantai memekakan telinga. Suara bola yang
berulang kali ia pantulkan juga tak kalah menyakitkannya. Panasnya aula hari
itu semakin menjadi dengan apa yang baru saja dilakukan Isa. Bulir demi bulir
keringat terjun bebas dari dahi Nirvana dan Isa. Deru nafas mereka tak
beraturan. Tiba – tiba tubuh Nirvana terasa beku, mati rasa. Tak mampu untuk
digerakkan sama sekali.
“Kau
harus berlatih seribu tahun lagi untuk mengalahkanku!”
Dunk!
Isa memasukkannya ke dalam ring dan
ia menang. Secepat cahaya bergerak, bola kembali jatuh dan memantul ke luar
lapangan. Kaki Isa sudah kembali menginjak lantai begitu ia menyelesaikan dunk-nya. Seperti biasa, ia tak pernah
kalah dari Nirvana. Tidak ada kata mengalah dalam kamus basketnya. Bahkan
dengan gadisnya sekali pun.
“Kau
menipuku!”
Isa
dan Nirvana berjalan beriringan di tengah kerumunan banyak orang. Seperti
biasa, Isa selalu menggunakan headset di telinga kanannya. Menurutnya, jika ia
terus mendengarkan musik, maka otak kanannya bisa lebih berkembang. Kenapa?
Karena otak kanan cenderung dengan hal – hal yang berbau seni dan musik adalah
salah satunya. Dengan begitu, permainan basketnya akan lebih sempurna dan
berseni jika ia bisa sukses menyeimbangkan kemampuan otaknya.
“Kau
masih mengingat - ingat pertandingan kemarin?”
“Uuuh..”
Nirvana mengembungkan pipinya. Wajahnya ia palingkan dari Isa. Ia masih tak
terima karena dikalahkan dengan begitu mudahnya oleh Isa saat pertandingan one on one kemarin.
“Kau
harus berlatih seribu tahun lagi untuk mengalahkanku! Stupid!”
Nirvana
berlari mendahului Isa. Ia berhenti lalu memutar tubuhnya tepat di depan Isa.
Ia menarik lengan bajunya sedikit ke atas. Sorot matanya tajam, setajam pisau
yang baru diasah. Ia memajukkan tubuhnya lebih dekat dengan Isa. Mengikis jarak
antara wajah mereka.
“What? I’m stupid? Come on! Aren’t
you the stupid one this world? Stupid stupid stupid!”
“And I’m the stupid one who you
loves!” balas Isa seraya membuat wink semanis mungkin tepat di depan mata Nirvana.
Kebakaran!
Itulah gambaran suasana hati Nirvana saat ini. Wajahnya merah padam mendengar
apa yang baru saja dikatakan Isa. Mulutnya bungkam seketika. Tak mampu untuk
membalas. Tubuhnya kembali membeku dan mati rasa. Saat ini, detik ini, dan
menit ini, itu adalah kebekuan yang ia rasakan untuk kedua kalinya hari ini.
“Jangan
berjalan mendahuluiku!” teriak Nirvana begitu menyadari Isa sudah berjalan
lebih dulu di depannya. Ia membalikkan tubuhnya, lalu berlari secepat mungkin
mengejar Isa.
Nirvana
tak henti melemparkan pandangannya pada Isa. Pria di sampingnya itu terlihat
sangat tampan dan casual. Di lihat
dari sudut manapun, dia tetap keren. Ia merasa sangat beruntung karena Isa mau
menerima cintanya waktu itu. Ia sendiri sama sekali tak mengira jika hal itu
akan terjadi. Menurutnya, hari itu benar – benar keajaiban yang tak terlupakan!
Nirvana
menutup mulutnya rapat – rapat. Ia tak kuat menahan tawanya untuk meledak jika
mengingat kejadian itu. Kejadian yang sangat bodoh namun istimewa untuknya.
Gadis – gadis lainnya, yang melakukan hal sama dengannya, langsung di tolak
oleh Isa sebelum ia mengutarakan perasaannya. Sedangkan dia? Belum selesai ia
mengatakannya, Isa sudah lebih dulu menerimanya.
“Butuh
obat?” tanya Isa bingung melihat Nirvana yang cengigisan menahan tawa sedari
tadi.
Nirvana
menggelengkan kepalanya.
“Aku
hanya memikirkan tentang betapa bodohnya sekaligus beruntungnya aku saat itu.”
“Saat
kau mengungkapkan perasaanmu padaku tepat setelah aku memenangkan pertandingan?”
Langkah
Nirvana terhenti seketika. Ia tak menyangka Isa bisa semudah itu mengetahui apa
yang ada dalam pikirannya.
“Bagaimana
kau bisa mengetahuinya?”
“Hhhhh….”
Isa menaikkan salah satu sudut bibirnya sambil terus berjalan ke depan.
“Memangnya
apa lagi yang ada di otakmu selain aku?”
“Sudah
berapa kali aku mengatakannya padamu? Jangan berjalan mendahuluiku! Stupid!” teriak Nirvana seraya berlari
mengejar Isa.
Hening,
tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut keduanya setelah percakapan tadi.
Mereka berdua terus berjalan beriringan tanpa kata menuju ke bioskop. Naik dan
turun eskalator dalam suasana yang begitu mematikan. Isa sibuk sendiri dengan ipod-nya. Sementara Nirvana bingung, tak
tahu harus berkata apa untuk mencairkan suasana yang lebih dengin dari es di
kutub itu.
“Kau
hebat bisa menaklukan hati ibuku. Suaramu ketika mengaji sangat indah.
Menyejukkan hati siapapun yang mendengarnya. Tak terkecuali aku.”
“Hah?”
Spontan Nirvana memutar kepalanya menghadap Isa dan memperhatikannya.
“Sebelumnya
aku sudah tertarik padamu. Kau berbeda. Kau tak pernah jadi orang lain hanya
untuk mendapatkanku. Kau selalu melakukan yang terbaik untuk mendapatkan apa
yang kau inginkan. Kau kuat dan tidak cengeng seperti perempuan lainnya. Bahkan
ketika ibumu meninggal, kau bisa lebih kuat dari ayahmu. Kau juga ekspresif dan
yang paling penting dari semua itu, kau perempuan yang baik.”
“Hanya
itu?”
Kini
giliran Isa yang menghentikkan langkahnya dan memutar kepalanya menghadap
Nirvana. Ia memiringkan kepalanya. Mengamati Nirvana mulai dari ujung rambut
sampai ujung kuku kaki. Matanya menyipit, tak mengerti dengan pertanyaan yang
baru saja dilontarkan Nirvana.
“Apakah
hanya itu pendeskripsianmu tentang aku? Harusnya kan kamu juga bilang kalo aku
pinter, imut, jago masak….” Kata – kata Nirvana berhenti seketika karena Isa
membekap mulutnya.
“Kita
udah sampai. Kamu tunggu di sini sebentar ya, aku mau beli tiket! Jangan kemana
– mana, entar nyasar lagi.” Isa berlari menuju antrian untuk membeli tiket
begitu selesai menasehati Nirvana.
“Huft….
Emangnya aku anak kecil apa?” Nirvana melipat kedua tangannya di depan dada dan
mendudukkan tubuhnya tak jauh dari tempat antrian tiket.
Beberapa
menit kemudian Isa datang seraya tersenyum melihat wajah kesal Nirvana.
“Aku
nunggu kamu sampai lumutan tahu nggak? Lama banget sih!”
“Ini
kan weekend,” jawab Isa santai.
“Marah?”
tanya Isa melihat Nirvana yang tak meresponnya sedari tadi.
“Hhh..”
ungkap Nirvana seraya memalingkan wajahnya dari Isa.
“Ya
udah kalo nggak mau. Aku nonton film Breaking Dawn sendiri aja.”
Nirvana
langsung memutar kepalanya begitu mendengar apa yang dikatakan Isa. Senyuman
perlahan merekah dan menghiasi wajahnya. Matanya berkaca – kaca menatap Isa.
“Kamu
beli tiket film yang aku pilih?”
“Menurutmu?”
“Tapi
kan aku kalah?”
“Kalah
menang dalam pertandingan itu biasa.”
“Isa….”
“Hmmmm?”
“Aku
sayang sama kamu, Mr. Coldest.”
Nirvana
meraih tubuh Isa dan masuk ke dalam pelukannya. Perlahan, butiran – butiran
bening itu bergulir keluar. Isa yang menyadari hal itu langsung ambil tindakan
yang tepat tanpa menunggu lama. Dengan lembut, tangan Isa mulai membelai rambut
Nirvana dan menenangkannya.
“Aku
juga sayang sama kamu…. selalu….” bisik Isa di telinga Nirvana.
~ Fin
0 komentar:
Posting Komentar