Sabtu, 13 Desember 2014

Di Pagi Hari

0



 Tatkala mentari mulai menyingsing
Beriringan dengan Dewi Malam yang tenggelam
Dibalut embun-embun di dahan
Diselimuti asap kendaraan yang mulai bertebaran
Rintik-rintik air langit turun
Menciumi bumi
Menemaniku duduk di tepi

Satu menit
Dua menit
Lima menit
Sepuluh menit
Masih juga tak nampak batang hidungmu
Apalagi bayanganmu
Menimbulkan lubang  kegusaran yang menganga di dadaku

Jalan raya tak lagi lenggang
Ditemani nyala lampu merah yang garang
Dikerubuti oleh bebek-bebek pemakan bensin
Yang berbondong-bondong memperebutkan posisi paling depan
Tak lama, kegarangan lampu merah surut
Disusul kejayaan lampu hijau yang mulai beringsut
Menciptakan guratan senyum pada wajah muda-mudi yang bersih dari keriput

Tepat ketika wajahku berpaling
Akan jengahnya jalan raya di kota
Batang hidungmu muncul di hadapanku
Tepat di depan mataku
Ah ralat, tak hanya batang hidungmu
Namun dirimu
Beserta motor bebek andalanmu

Kau melempar senyum padaku
Yang tak pernah gagal menyihirku
Menciptakan imajinasi luar biasa hebat dalam memori otakku
Seperti candu
Yang sukses membuatku ketagihan dan tersipu malu
Lalu lupa akan waktu
Yang terus bergerak maju

Kududukan diriku, tepat di belakang tubuhmu
Aromamu, tanpa permisi menusuk hidungku
Ketika kata “sudah” keluar dari bibir merahku
Kau pun menginjak pedal gas di bawah kakimu
Melajukan motor bebekmu
Membelah jalanan kota yang basah
Di pagi hari

#BunyiPuisi
14 Desember 2014

https://soundcloud.com/feni-yuli/di-pagi-hari

Rabu, 03 Desember 2014

Catatan Kampus Fiksi 10

2



            Masih teringat jelas dimemori otak saya ketika pertama kali datang ke Jogjakarta pada malam ke dua puluh delapan di bulan November. Komentar yang pertama kali muncul dalam benak adalah penerangan jalan di Jogja. Temaram. Tak semeriah kota-kota metropolitan seperti Jakarta atau Surabaya. Namun pikiran tersebut teralihkan kala seorang perempuan cantik memanggil nama saya dan tersenyum. Yang setelah saya tanyai, bernama Vina.
            Kereta api yang membawa saya dari Surabaya menuju Jogjakarta telat datang. Dari jadwal yang seharusnya jam tujuh malam, menjadi jam sembilan. Awalnya saya was-was. Takut jikalau mobil jemputan yang akan membawa saya ke “rumah baru” sudah pergi. Tapi ternyata saya salah. Mobil itu telah menunggu kedatangan saya dan yang lainnya dari jam tujuh. Sampai sopirnya, Mas Kiki, sempat tertidur dengan pulas.
            Perjalanan dari Stasiun Lempuyangan menuju gedung Kampus Fiksi memakan waktu kurang lebih empat puluh menit. Namun lama perjalanan tersebut sama sekali tak terasa karena terjadi guyonan ringan di dalam mobil.
            Saya pun dibuat terperangah begitu tiba di tempat yang akan menaungi para peserta Kampus Fiksi selama dua hari ke depan. Rumah tersebut masih dalam proses renovasi. Lalu dalam benak saya pun tercipta sebuah pertanyaan, disinikah aku akan tinggal? Namun pertanyaan tersebut segera sirna ketika Mas Kiki mengajak saya dan yang lainnya untuk mendaki tangga menuju lantai dua.
            Sebuah pintu kayu dengan papan tulisan berdiri dengan kokohnya di ujung anak tangga. Dengan satu gerakan tangan, gagang pintu pun berhasil terbuka. Decitan suara pintu sukses mengalihkan perhatian para penghuninya. Mereka pun langsung bangkit dari tempat duduk dan menyalami kami. Memperkenalkan diri dan memberikan sebuah tas yang berisi beberapa buku dan sticker. Salam hangat kedatangan. Sehangat saat saya berkumpul dengan keluarga dan teman-teman.
            Tak kalah dari sambutan di ruang tengah. Ketika saya memasuki kamar untuk wanita, ternyata sudah ada beberapa orang yang menghuninya. Bed cover berwarna merah menyala yang bertulisakan Manchester United. Salah satu klub sepak bola dunia, juga ikut menyapa mata telanjang saya.
Dalam sepersekian detik, ruangan pun menjadi riuh. Satu sama lain saling berjabat tangan. Tanda perkenalan. Namun dengan jumlah orang baru sebanyak itu. Tentunya saya tidak mungkin bisa serta merta menghapal semuanya dalam sekejap mata. Sampai-sampai saya pernah menanyai nama salah satu peserta sekali lagi karena saya sudah melupakan namanya tepat setelah lima detik dia menyebutkannya. Namun saya yakin besok ada perkenalan lagi. Jadi saya tak menanyakan nama peserta lain yang saya lupakan juga.
            Hari-hari berikutnya diisi dengan canda tawa, keseruan, berbagi ilmu dan cerita yang takkan bisa saya jelaskan semuanya satu persatu disini. Namun yang pasti bisa saya katakan adalah kalian semua istimewa. Anak-anak Kampus Fiksi 10 yang datang dari berbagai penjuru kota di Indonesia. Dua puluh orang, termasuk saya.
Tak kalah menarik, mentor, panitia, alumni dan semua orang yang berada satu atap dan merasakan atmosfir di gedung baru Kampus Fiksi kemarin. Mereka semua adalah calon orang-orang hebat. Di bidang seni. Bagaimana tidak? Mereka mampu mengapresiasikan diri mereka dalam tulisan, lisan, ekspresi dan bahasa tubuh yang tak semua orang bisa melakukannya.
Di hari pertama, saya berhasil bangun pagi dan mendapatkan giliran mandi terlebih dahulu. Namun hari-hari berikutnya, saya harus sabar mengantre untuk mendapatkan giliran. Maklum saja, jumlah penghuni gedung tersebut kurang lebih empat puluh orang. Sementara kamar mandinya hanya dua. Namun, hal tersebut sangat berkesan dan membekas di hati saya. Tatkala saya harus “berebut” dengan yang lainnya atau menunggu di depan kamar mandi hingga yang berada di dalamnya keluar. Perjuangan. Pengorbanan. Untuk mandi lebih dulu. Atau saya akan telat menerima materi yang dimulai jam delapan pagi. Hal tersebut memberikan saya pelajaran jika ingin mendapatkan sesuatu, sesepele apapun itu. Saya tetap harus memperjuangkannya.
Di antara kesembilan belas peserta Kampus Fiksi yang lainnya, ada satu peserta yang umurnya sama dengan saya. Tujuh belas tahun. Masih sekolah. Terkadang, hal tersebut membuat saya berkecil hati. Kenapa? Karena saya berpikir jika mereka sudah “berumur” tentunya mereka akan punya lebih banyak pengalaman. Baik itu dalam tulisan. Maupun dalam hal menggagas sebuah ide. Namun kini, setelah saya mengenal mereka semua. Saya tak takut lagi. Saya sudah siap untuk berdiri di medan perang ini. Penulisan fiksi. Proses kreatif. Karena saya yakin, suatu saat nanti juga bisa menjadi seperti mereka. Tentunya jika saya terus berusaha dan tak menyerah di titik tertentu.
Selain masalah umur, terjadi kesenjangan jumlah antara pria dan wanita dalam Kampus Fiksi 10 kemarin. Bayangkan saja, perbandingan pria dan wanitanya adalah satu banding empat. Hal tersebut membuat saya berpikir, apakah profesi kepenulisan lebih banyak digemari oleh para kaum hawa daripada adam? Karena jujur saja di sekolah saya lebih banyak pria daripada wanitanya.
Di Kampus Fiksi ini, saya benar-benar dimanjakan dan memperoleh banyak sekali ilmu. Baik itu dalam teknik penulisan, marketing, maupun perindustrian buku. Pengetahuan yang akan sangat sulit untuk saya dapatkan sekaligus jika saya tak terpilih menjadi peserta Kampus Fiksi 10. Kesempatan emas yang takkan mungkin datang dua kali.
Bicara masalah kesempatan, saya sudah menunggu untuk mengikuti Kampus Fiksi ini selama satu tahun. Kala itu, saya sedang di dalam bus menuju Bandung. Dalam perjalanan Kunjungan Industri dari sekolah.
Tiba-tiba saya pun teringat akan hari pengumuman peserta yang lolos seleksi cerpen Kampus Fiksi. Saya pun meminjam handphone teman yang terhubung dengan internet, karena handphone saya belum secanggih yang sekarang untuk melihat hasilnya. Dengan hati berdebar dan terus berikthiar. Saya pun membuka blog Kampus Fiksi. Dan seperti keajaiban, Sim Salabim. Saya diterima!



Ada banyak hal yang ingin saya ceritakan mengenai pengalaman dua hari kemarin bersama teman dan anggota keluarga baru. Namun tugas akhir dan UAS menuntut saya untuk segera menyelesaikan catatan ini dan kembali bergulat dengan mereka terlebih dahulu.
Terima kasih pada panitia, kakak-kakak Kampus Fiksi 10, panitia, pembimbing, Pak Edi, Divapress, dan alumni. Terima kasih atas kesempatan yang kalian berikan sehingga saya dapat menikmati dua hari bahagia dalam hidup saya bersama kalian. Terima kasih atas pertemanan, persaudaran, kasih sayang, cinta, ilmu dan pengetahuan yang telah kalian berikan.
Ada satu kalimat Pak Edi yang saya ingat kala penutupan Kampus Fiksi di hari terakhir bulan November kemarin. “Kita sering lupa akan perpisahan jika sudah menghadapi sebuah pertemuan”. Dan itu benar. Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa saya sadari kebersamaan saya bersama mereka pun akan segera tamat. Untuk saat itu tentunya.
Semoga jalinan persahabatan ini akan terus berjalan. Takkan pernah terputus. Seperti amal jariyah yang akan terus dialirkan untuk Pak Edi sekeluarga. Sukses untuk kita semua. Kampus Fiksi? Pasti Bisa!

Surabaya, 4 Desember 2014
Feni Yuli
          

Sabtu, 22 November 2014

Topeng

1





Sontak matamu membelalak melihat gadis itu menonton film buatanmu. Hotel Majapahit. Gadis di depanmu menontonnya dengan serius. Tanpa berkedip. Kau mematung tak percaya melihatnya. Hingga gadis itu menyadari kedatanganmu dan mengalihkan pandangan matanya.
                “Apa yang sedang kau lakukan disini? Menjaga stan pameran?” Kau tersenyum kecut.
                “Kau sungguh melakukannya? Kau membuat film yang buruk untuk diikutsertakan pada kelompok kita dan membuat yang bagus untuk dirimu sendiri? Kau juga tak mengatakan apapun kepada kami agar kami tak menjadi sainganmu?” Gadis di depanmu menyipitkan mata.
                Hening. Kau terhenyak mendengar pertanyaannya yang langsung tembak. Namun kau sudah tak mampu mengelak lagi.
                “Iya. Lantas kenapa?” Kau balik menantangnya. Tak ingin menjadi orang yang merasa bersalah.
                “Kau tega? Tak merasa bersalah sedikit pun pada kami?” Bibir gadis di depanmu bergetar.
                “Setiap orang mempunyai topeng masing-masing. Kau butuh hidup seratus tahun lagi untuk mempelajari semuanya.”
                “Takkan ada lagi orang yang percaya padamu. Kepercayaan itu ibarat kertas. Sekali kau merusaknya ia takkan sama lagi seperti semula.”
                “No problem.”
                Sinis. Gadis di depanmu tertawa sarkasme. “You’ll deserve it.”
***
#FFOrangkedua
Pas 169 kata
#KampusFiksi @ 2014

Sabtu, 15 November 2014

Sepenggal Kata Maaf

0





            “Tante, bohong kan?”
            Tangan Yomi gemetar memegang tangan wanita paruh baya di depannya. Berulang kali ia meneguk ludah dalam-dalam. Dadanya naik turun tak beraturan. Kelopak matanya telah penuh oleh butir-butir air mata.
           “Kak Galih nggak mungkin mati kan? Dia baik-baik aja kan? Iya kan tante?” Kepala Yomi menggeleng pelan. Sekuat tenaga ia menyuntikkan pikiran positif pada dirinya. Meyakinkan kalau Galih Fadel, calon suaminya, masih hidup.
            Yomi mengedipkan matanya. Saat itu pula air mata yang sudah sedari tadi berkumpul jatuh untuk pertama kalinya. Membasahi pipinya. Ia menarik napas panjang mendapati tak ada seorang pun yang menjawabnya. Semuanya menundukkan kepala dengan ekspresi duka.
            Tubuh Yomi roboh. Ia terduduk di lantai mengingat saat dirinya bersama Galih kemarin. Saat dimana terjadi pertengkaran yang membuat Galih melukai tangannya.
            “Aku belum sempat minta maaf sama Kak Galih. Aku belum minta maaf sama dia tante.” Yomi mendongakkan kepalanya. Menatap mata teduh ibu Galih yang melihatnya dengan sendu.
            Hening. Setiap pasang mata yang ada di lorong rumah sakit depan UGD itu menatap Yomi dengan iba. Pernikahannya dengan Galih tinggal menghitung hari. Namun kini, semuanya kandas.
            “Aku mau lihat mayatnya tante. Aku mau lihat dia untuk yang terakhir kali. Nggak apa kan?” Perlahan Yomi bangkit dan menyejajarkan dirinya dengan ibu Galih.
            “Tentu saja boleh, sayang.” Ibu Galih meraih tubuh Yomi dan memeluknya erat seperti putri kandungnya sendiri. Tangannya yang telah keriput dimakan usia, membelai punggung Yomi lembut.
            Perlahan Yomi melepaskan pelukannya. Ia berjalan menuju ruang UGD yang berada tepat di sampingnya. Tubuhnya gemetar hebat. Mendadak seluruh organ tubuhnya berhenti bekerja ketika tangannya menyentuh gagang pintu. Ia tak siap melihat wajah Galih lagi setelah pertengkaran kemarin. Namun tiba-tiba tangan ibu Galih sudah berada di atas tangannya dan membantunya untuk membuka pintu.  Keluarganya dan Galih juga sudah berdiri di belakangnya.
            Yomi memejamkan matanya dan menarik napas dalam-dalam sebelum menarik gagang pintu. Lalu dengan sekali gerakan tangannya, yang didampingi tangan ibu Galih, mampu membuka pintu ruang UGD. Tempat dimana sebelumnya Galih telah berjuang untuk tetap hidup.
            Kaki Yomi berjalan terseok mendekati ranjang tempat Galih bersemayam. Sekuat tenaga ia menguatkan dirinya untuk menarik kain putih yang menutupi wajah Galih. Tepat saat kain itu terbuka, tangisnya pecah. Air mata bergulir dengan deras.
            “Aku minta maaf. Aku minta maaf, kak. Aku yang salah. Aku egois. Aku nggak pernah ngertiin posisi kakak. Aku selalu meminta, tapi nggak pernah sekali pun memberi. Aku minta maaf, kak.”
            Seluruh keluarga Galih dan Yomi yang ada di dalam ruang UGD menundukkan kepala. Mereka ikut menangis dalam diam. Merasakan rasa sakit yang juga Yomi rasakan. Namun mungkin tak sesakit dan setersiksa Yomi. Kecuali kedua orang tua Galih.
            “Aku kekanak-kanakan. Aku boros. Aku suka hangout sama teman-teman dan jarang peduliin kakak. Sementara kakak selalu ada tiap aku butuh. Tapi aku nggak pernah ada waktu kakak butuh aku. Aku minta maaf udah bikin kakak stres dan jadi nggak konsen waktu bawa mobil. Sampai.. Sampai.. Sampai kecelakaan itu terjadi. Dan membuat kakak pergi untuk selama-lamanya dari  hidup aku. Aku minta maaf.”
            “Yomi…” Ibu Galih mendekati Yomi dan merengkuh tubuhnya. “Udah sayang, udah.”
            “Tapi aku belum ngejelasin semuanya sama Kak Galih tante. Aku terlalu banyak nyakitin dia. Dan sekarang aku udah terlambat buat minta maaf dan memperbaiki semuanya. Aku udah terlambat…”
            Ibu Galih  melepaskan pelukannya. Ia memegang bahu Yomi erat dan menatapnya.
“Galih sayang sama kamu. Dia nggak pernah mengeluh saat kamu nggak ada ketika dia butuh. Dia juga nggak pernah protes dengan semua sifat buruk kamu. Dia mau buat kamu jadi lebih baik lagi. Makanya dia nggak ninggalin kamu setelah apa yang kamu lakuin sama dia. Galih sayang banget sama kamu, nak.”
Yomi merasa semakin bersalah mendengar apa yang ibu Galih katakan. Namun dia memang salah dan kini saat ia menyadari semua kesalahannya, orang yang telah membuatnya sadar telah pergi dan takkan pernah kembali lagi.
“Lebih baik sekarang kamu berusaha buat jadi lebih baik dan tunjukkin ke Galih kalau kamu bisa menjadi perempuan hebat seperti apa yang ia harapkan.”
“Iya tante.. Aku janji,” jawab Yomi dengan mantap.

-Fin
           
 #KampusFiksi #FiksiSakit
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com