Senin, 11 November 2013

Be The Light

0


               “Jangan Bodoh! Kamu itu nggak akan bisa menang! Nggak akan pernah bisa!”
            Viona menatap mata Nirvana dalam – dalam. Kilatan cahaya yang begitu menyilaukan, memantul dari matanya.
            “Apa yang kamu lakuin saat ini cuma buang – buang waktu orang lain tahu nggak? Apa kamu nggak malu sama diri kamu sendiri, hah?”
            Sepasang mata Viona tak henti mengamati gerak bibir Nirvana. Mencoba menerjemahkan apa yang sedang ia katakan. Mencoba untuk mencari sesuatu hal di balik kalimat yang ia buat. Kenapa? Nirvana bisa semarah itu padanya?
            Dengan kasar, Nirvana menarik Biola beserta busurnya dari Viona, menyerahkan benda itu kembali pada si empunya yang berdiri di samping Viona, menundukkan kepalanya takut akan Nirvana.
            “Jangan pernah bertindak bodoh dengan meminjami anak cacat ini biolamu lagi! Kalau rusak bagaimana? Memangnya orang tuamu mampu untuk membeli yang baru?” tanya Nirvana seraya mengangkat salah satu alisnya.
            Gadis itu, Kania, hanya menggelengkan kepalanya. Tak berani menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Nirvana. Ia terlalu takut akan sosok gadis berambut panjang yang kini berdiri di hadapannya, menatapnya dengan tatapan tidak suka.
            “Aku minta maaf!” Dengan kepala yang masih menunduk, Kania pergi meninggalkan ruang latihan. Meninggalkan Nirvana dan Viona berdua. Menyelesaikan masalah yang tak ada habisnya di antara mereka.
            “Apa salahku?” tanya Viona seraya menggerakan tangannya untuk memperjelas maksud dari pertanyaannya.
            Alis Nirvana berkerut melihat apa yang dilakukan Viona. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Membuat sebuah uraian senyum yang elok.
            “Jangan membuat aku tertawa!” ungkap Nirvana seraya menutup mulutnya. Menahan agar tawanya tak meledak.
            Viona berlari mendekati tasnya dan merogoh sesuatu di dalam sana. Dengan gerakan cepat, ia menulis sesuatu di buku dengan pensil hasil jarahannya di tas. Dengan tatapan yang meneduhkan, ia membalikkan buku yang baru saja ia isi dengan tulisan dan menghadapkannya ke arah Nirvana.
            Nirvana menhentikkan tawanya. Ia sedikit maju mendekati Viona dan memanjangkan lehernya. Menengok sesuatu yang tertulis di atas buku Viona. Tak berapa lama kemudian kedua sudut bibirnya kembali tertarik. Ia menarik kembali lehernya dan melipat kedua tangannya di depan dada.
            See? Untuk berbicara dan mengungkapkan perasaanmu pada orang lain saja kamu harus bersusah payah mencari sebuah alat kan? Kamu itu beda sama aku. Aku normal dan kamu enggak. Aku cantik dan kamu jelek. Aku kaya dan kamu miskin. Aku pintar dan kamu bodoh. Banyak sekali perbedaan di antara kita berdua. Bahkan jika bumi dan langit digunakan sebagai perumpamaan untuk menggambarkan betapa jauhnya perbedaan antara aku dan kamu itu masih belum cukup.”
            Viona menarik kembali bukunya. Membuka halaman selanjutnya dengan kasar dan kembali menorehkan sebuah tulisan dengan penanya. Beberapa detik kemudian, ia kembali memperlihatkan bukunya kepada Nirvana.
            “Lalu kenapa jika kita berbeda? Bukankah perbedaan itu indah? Bukankah perbedaan seharusnya membuat kita menjadi satu? Bukannya malah menjadi sesuatu yang membuat kita pecah? Kenapa kita harus sama jika berbeda itu lebih indah?”
            Dahi Nirvana berkerut membaca tulisan yang ada di buku Viona. Senyum yang tadi menghiasi wajahnya langsung sirna begitu saja. Kakinya beranjak maju mendekati posisi Viona yang duduk berjongkok di samping tasnya.
            Viona menarik kepalanya mundur. Bulu kuduknya seketika berdiri melihat wajah Nirvana yang kini tepat di hadapannya. Mata mereka saling bertemu. Nafas mereka beradu. Dengan air muka innocent, Nirvana memandangi setiap lekuk wajah Viona. Melihat butiran keringat yang dengan perlahan jatuh membasahi dahi Viona. Melihat hidungnya yang kembang kempis menghirup oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida.
            “Ternyata kamu sama aku emang beda!” ungkap Nirvana kemudian. Ia menarik kepalanya menjauh dari Viona setelah puas memandanginya dengan seksama.
            “Kamu nggak akan pernah bisa. Bahkan dalam mimpimu pun nggak akan pernah.”
            Viona mengacak – acak rambutnya frustasi mengingat kejadian di ruang latihan minggu lalu. Ia mendongakkan kepalanya, menatap awan yang berarak beriringan. Cahaya matahari yang saat itu tengah berada tepat di atas kepala menyilaukan matanya. Membuatnya mau tak mau menaikkan salah satu tangannya untuk direntangkkan di atas dahi. Dengan pupil mata yang sedikit tertutup, ia melihat sesuatu di balik awan yang tadi ia lihat. Sesuatu yang mirip seseorang yang ia sayangi. Seseorang yang telah pergi meninggalkannya cukup lama. Seseorang yang sebelumnya telah menjadi mulut dan telinga untuknya.
            “Ayah?” panggilnya dalam hati.
            Sosok gambar yang mirip ayahnya itu pun tersenyum padanya. Viona kembali menaikkan tangan sebelahnya yang masih tergantung bebas di bawah. Menariknya ke atas untuk direntangkan di samping dahinya. Membantu matanya untuk bisa lebih jelas melihat awan.
            “Ayah?” Viona tersenyum seraya mengamati setiap gerakan bibir ayahnya. Menangkap setiap frasa yang ayahnya sampaikan kepadanya. Menerjemahkannya menjadi suatu kalimat yang dapat dimengerti otaknya dan ia simpan baik – baik dalam hatinya.
            “Jadilah cahaya. Hangatkan orang lain dengan cahayamu. Silaukan mata orang yang iri dan dengki padamu. Berkilaulah dengan cemerlang. Tapi ingat, jangan pernah menjadi orang yang sombong! Terus berlatih dan berdoa. Perbedaan tak akan menjadi halangan untukmu mencapai kesuksesan yang gemilang. Be the light in the sky. So, I can touch you, keep you and hug you in my arms. Ayah selalu mencintaimu. Forever and Always.”
            Viona mengulurkan tangannya ke atas. Berusaha menggapai tangan ayahnya yang kini mengulurkan tangan kepadanya. Namun dewi fortuna sepertinya sedang tidak berpihak kepadanya. Tiba – tiba saja, langit menjadi tak berawan, tak bersahabat dengan manusia. Angin mulai mendesah dan menyapu segala sesuatu yang ia lewati.
            “Ayah?” Air muka Viona berubah seketika begitu cahaya matahari dan langit yang berawan menghilang. Ia menarik kembali tangannya yang tadi terulur ke atas. Mendekapnya erat di depan dada seraya menundukkan kepalanya. Hingga sepasang kaki tiba – tiba muncul dalam penglihatannya.
            Viona mengangkat kepalanya. Di sana, tepat di depannya, berdiri seseorang yang dengan jelas ia kenal. Seseorang yang pernah sekali mematahkan semangat juangnya. Seseorang yang seringkali membuatnya meragu untuk melakukan sesuatu.
            “Sekarang si itik buruk rupa sudah berubah menjadi angsa hanya karena telah mampu membeli biola dan memakai gaun yang sedikit menawankah?”
            Viona menatap Nirvana lekat – lekat. Bertanya – tanya dalam hati apa yang akan di lakukan Nirvana padanya saat ini. Bukankah seharusnya sekarag ia sedang berada di auditorium dan mengikuti lomba musik klasik?
            “Urutan tampilku berubah. Aku tampil paling akhir sehingga aku bisa menemuimu terlebih dahulu di sini!” ungkap Nirvana seraya menarik kedua sudut bibirnya.
            Dahi Viona berkerut. Salah satu alisnya tertarik ke atas. Mencerna setiap kalimat yang diucapkan oleh Nirvana hanya dengan membaca gerak bibirnya. Mencoba mencari tahu apa maksud perkataanya yang sesungguhnya. Kenapa ia datang di saat – saat terakhir sebelum ia tampil?
            “Jangan – jangan?” Mata Viona terbelalak lebar begitu mengetahui maksud sesungguhnya dari Nirvana.
            Kini, Nirvana menggoyang – goyangkan biola yang baru saja di beli Viona kemarin dengan hasil uang tabungannya dua tahun terakhir. Hasil kerja kerasnya tanpa mengenal lelah dan waktu. Saat ini berada di tangan Nirvana dan dapat dipastikan jika hidupnya tak akan lama lagi.
            “Jangan, Nir. Aku mohon jangan!” Viona menggelengkan kepalanya menatap Nirvana yang tersenyum riang.
            “No….” teriak Viona dalam hati. Air matanya menetes melihat biolanya yang jatuh ke bawah dengan gerakan slow motion. Suaranya memekakan telinga begitu ia mencapai trototar. Dengan wajah tanpa dosa Nirvana langsung menginjak biola itu tanpa rasa kasihan sedikit pun.
            “Ngak…. Ini semua ngak mungkin.” Viona menutup kedua telinganya dan terduduk lesu di atas trotoar. Matanya berkaca – kaca melihat biolanya yang terinjak – injak. Kepalanya menggeleng tak percaya.
Seakan tak mau mendengar jeritan tangis dari biolanya yang berteriak minta tolong, Viona mengeratkaan kedua tangannya untuk menutup telinganya. Kepalanya tertunduk lesu memandangi serpihan – serpihan biolanya di atas trotoar.
            Dengan sekali hentakkan terakhir, Nirvana menghancurkan biola Viona. Serpihan – serpihannya berterbangan ke udara. Menggores pipi Viona hingga merobek kulit epidermisnya. Menghancurkan perlindungannya hingga membuat isinya keluar. Mengucurkan tetes demi tetes cairan merah segar yang kental.
            Sakit? Itu tak dirasakan oleh Viona sama sekali saat ini. Rasa sakitnya tak sebanding dengan luka di hatinya yang kini menganga lebar melihat sahabat kesayangannya hancur.
            Perlahan tapi pasti air langit mulai turun. Mengguyur Nirvana dan Viona yang kini berada di jalanan tanpa perlindungan. Membuat keduanya basah kuyup. Namun sama sekali tak dihiraukan oleh mereka. Rasa dingin itu, suara petir yang menggelegar itu, tak membuat mereka bergidik sedikit pun. Tak membuat mereka terbesit pikiran untuk enyah dari tempat itu juga.
            “Aku sudah pernah bilang bukan padamu? Kau takkan pernah bisa mengalahkanku. Takkan pernah, walau hanya dalam mimpi sekalipun.”
***

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com