“Jangan Bodoh! Kamu itu nggak akan bisa menang! Nggak akan pernah bisa!”
Viona
menatap mata Nirvana dalam – dalam. Kilatan cahaya yang begitu menyilaukan,
memantul dari matanya.
“Apa
yang kamu lakuin saat ini cuma buang – buang waktu orang lain tahu nggak? Apa
kamu nggak malu sama diri kamu sendiri, hah?”
Sepasang
mata Viona tak henti mengamati gerak bibir Nirvana. Mencoba menerjemahkan apa
yang sedang ia katakan. Mencoba untuk mencari sesuatu hal di balik kalimat yang
ia buat. Kenapa? Nirvana bisa semarah itu padanya?
Dengan
kasar, Nirvana menarik Biola beserta busurnya dari Viona, menyerahkan benda itu
kembali pada si empunya yang berdiri di samping Viona, menundukkan kepalanya
takut akan Nirvana.
“Jangan
pernah bertindak bodoh dengan meminjami anak cacat ini biolamu lagi! Kalau
rusak bagaimana? Memangnya orang tuamu mampu untuk membeli yang baru?” tanya
Nirvana seraya mengangkat salah satu alisnya.
Gadis
itu, Kania, hanya menggelengkan kepalanya. Tak berani menjawab pertanyaan yang
dilontarkan oleh Nirvana. Ia terlalu takut akan sosok gadis berambut panjang yang
kini berdiri di hadapannya, menatapnya dengan tatapan tidak suka.
“Aku
minta maaf!” Dengan kepala yang masih menunduk, Kania pergi meninggalkan ruang
latihan. Meninggalkan Nirvana dan Viona berdua. Menyelesaikan masalah yang tak
ada habisnya di antara mereka.
“Apa
salahku?” tanya Viona seraya menggerakan tangannya untuk memperjelas maksud
dari pertanyaannya.
Alis
Nirvana berkerut melihat apa yang dilakukan Viona. Kedua sudut bibirnya
tertarik ke atas. Membuat sebuah uraian senyum yang elok.
“Jangan
membuat aku tertawa!” ungkap Nirvana seraya menutup mulutnya. Menahan agar
tawanya tak meledak.
Viona
berlari mendekati tasnya dan merogoh sesuatu di dalam sana. Dengan gerakan
cepat, ia menulis sesuatu di buku dengan pensil hasil jarahannya di tas. Dengan
tatapan yang meneduhkan, ia membalikkan buku yang baru saja ia isi dengan
tulisan dan menghadapkannya ke arah Nirvana.
Nirvana
menhentikkan tawanya. Ia sedikit maju mendekati Viona dan memanjangkan
lehernya. Menengok sesuatu yang tertulis di atas buku Viona. Tak berapa lama
kemudian kedua sudut bibirnya kembali tertarik. Ia menarik kembali lehernya dan
melipat kedua tangannya di depan dada.
“See? Untuk berbicara dan mengungkapkan
perasaanmu pada orang lain saja kamu harus bersusah payah mencari sebuah alat
kan? Kamu itu beda sama aku. Aku normal dan kamu enggak. Aku cantik dan kamu
jelek. Aku kaya dan kamu miskin. Aku pintar dan kamu bodoh. Banyak sekali
perbedaan di antara kita berdua. Bahkan jika bumi dan langit digunakan sebagai
perumpamaan untuk menggambarkan betapa jauhnya perbedaan antara aku dan kamu
itu masih belum cukup.”
Viona
menarik kembali bukunya. Membuka halaman selanjutnya dengan kasar dan kembali
menorehkan sebuah tulisan dengan penanya. Beberapa detik kemudian, ia kembali
memperlihatkan bukunya kepada Nirvana.
“Lalu
kenapa jika kita berbeda? Bukankah perbedaan itu indah? Bukankah perbedaan
seharusnya membuat kita menjadi satu? Bukannya malah menjadi sesuatu yang
membuat kita pecah? Kenapa kita harus sama jika berbeda itu lebih indah?”
Dahi
Nirvana berkerut membaca tulisan yang ada di buku Viona. Senyum yang tadi
menghiasi wajahnya langsung sirna begitu saja. Kakinya beranjak maju mendekati
posisi Viona yang duduk berjongkok di samping tasnya.
Viona
menarik kepalanya mundur. Bulu kuduknya seketika berdiri melihat wajah Nirvana
yang kini tepat di hadapannya. Mata mereka saling bertemu. Nafas mereka beradu.
Dengan air muka innocent, Nirvana
memandangi setiap lekuk wajah Viona. Melihat butiran keringat yang dengan
perlahan jatuh membasahi dahi Viona. Melihat hidungnya yang kembang kempis
menghirup oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida.
“Ternyata
kamu sama aku emang beda!” ungkap Nirvana kemudian. Ia menarik kepalanya
menjauh dari Viona setelah puas memandanginya dengan seksama.
“Kamu
nggak akan pernah bisa. Bahkan dalam mimpimu pun nggak akan pernah.”
Viona
mengacak – acak rambutnya frustasi mengingat kejadian di ruang latihan minggu
lalu. Ia mendongakkan kepalanya, menatap awan yang berarak beriringan. Cahaya
matahari yang saat itu tengah berada tepat di atas kepala menyilaukan matanya.
Membuatnya mau tak mau menaikkan salah satu tangannya untuk direntangkkan di
atas dahi. Dengan pupil mata yang sedikit tertutup, ia melihat sesuatu di balik
awan yang tadi ia lihat. Sesuatu yang mirip seseorang yang ia sayangi.
Seseorang yang telah pergi meninggalkannya cukup lama. Seseorang yang
sebelumnya telah menjadi mulut dan telinga untuknya.
“Ayah?”
panggilnya dalam hati.
Sosok
gambar yang mirip ayahnya itu pun tersenyum padanya. Viona kembali menaikkan
tangan sebelahnya yang masih tergantung bebas di bawah. Menariknya ke atas
untuk direntangkan di samping dahinya. Membantu matanya untuk bisa lebih jelas
melihat awan.
“Ayah?”
Viona tersenyum seraya mengamati setiap gerakan bibir ayahnya. Menangkap setiap
frasa yang ayahnya sampaikan kepadanya. Menerjemahkannya menjadi suatu kalimat
yang dapat dimengerti otaknya dan ia simpan baik – baik dalam hatinya.
“Jadilah
cahaya. Hangatkan orang lain dengan cahayamu. Silaukan mata orang yang iri dan
dengki padamu. Berkilaulah dengan cemerlang. Tapi ingat, jangan pernah menjadi
orang yang sombong! Terus berlatih dan berdoa. Perbedaan tak akan menjadi
halangan untukmu mencapai kesuksesan yang gemilang. Be the light in the sky. So, I can touch you, keep you and hug you in
my arms. Ayah selalu mencintaimu. Forever
and Always.”
Viona
mengulurkan tangannya ke atas. Berusaha menggapai tangan ayahnya yang kini
mengulurkan tangan kepadanya. Namun dewi fortuna sepertinya sedang tidak
berpihak kepadanya. Tiba – tiba saja, langit menjadi tak berawan, tak
bersahabat dengan manusia. Angin mulai mendesah dan menyapu segala sesuatu yang
ia lewati.
“Ayah?”
Air muka Viona berubah seketika begitu cahaya matahari dan langit yang berawan
menghilang. Ia menarik kembali tangannya yang tadi terulur ke atas. Mendekapnya
erat di depan dada seraya menundukkan kepalanya. Hingga sepasang kaki tiba –
tiba muncul dalam penglihatannya.
Viona
mengangkat kepalanya. Di sana, tepat di depannya, berdiri seseorang yang dengan
jelas ia kenal. Seseorang yang pernah sekali mematahkan semangat juangnya.
Seseorang yang seringkali membuatnya meragu untuk melakukan sesuatu.
“Sekarang
si itik buruk rupa sudah berubah menjadi angsa hanya karena telah mampu membeli
biola dan memakai gaun yang sedikit menawankah?”
Viona
menatap Nirvana lekat – lekat. Bertanya – tanya dalam hati apa yang akan di
lakukan Nirvana padanya saat ini. Bukankah seharusnya sekarag ia sedang berada
di auditorium dan mengikuti lomba musik klasik?
“Urutan
tampilku berubah. Aku tampil paling akhir sehingga aku bisa menemuimu terlebih
dahulu di sini!” ungkap Nirvana seraya menarik kedua sudut bibirnya.
Dahi
Viona berkerut. Salah satu alisnya tertarik ke atas. Mencerna setiap kalimat
yang diucapkan oleh Nirvana hanya dengan membaca gerak bibirnya. Mencoba
mencari tahu apa maksud perkataanya yang sesungguhnya. Kenapa ia datang di saat
– saat terakhir sebelum ia tampil?
“Jangan
– jangan?” Mata Viona terbelalak lebar begitu mengetahui maksud sesungguhnya
dari Nirvana.
Kini,
Nirvana menggoyang – goyangkan biola yang baru saja di beli Viona kemarin
dengan hasil uang tabungannya dua tahun terakhir. Hasil kerja kerasnya tanpa
mengenal lelah dan waktu. Saat ini berada di tangan Nirvana dan dapat
dipastikan jika hidupnya tak akan lama lagi.
“Jangan,
Nir. Aku mohon jangan!” Viona menggelengkan kepalanya menatap Nirvana yang
tersenyum riang.
“No….” teriak Viona dalam hati. Air
matanya menetes melihat biolanya yang jatuh ke bawah dengan gerakan slow motion. Suaranya memekakan telinga
begitu ia mencapai trototar. Dengan wajah tanpa dosa Nirvana langsung menginjak
biola itu tanpa rasa kasihan sedikit pun.
“Ngak….
Ini semua ngak mungkin.” Viona menutup kedua telinganya dan terduduk lesu di
atas trotoar. Matanya berkaca – kaca melihat biolanya yang terinjak – injak.
Kepalanya menggeleng tak percaya.
Seakan tak mau mendengar jeritan
tangis dari biolanya yang berteriak minta tolong, Viona mengeratkaan kedua
tangannya untuk menutup telinganya. Kepalanya tertunduk lesu memandangi
serpihan – serpihan biolanya di atas trotoar.
Dengan
sekali hentakkan terakhir, Nirvana menghancurkan biola Viona. Serpihan – serpihannya
berterbangan ke udara. Menggores pipi Viona hingga merobek kulit epidermisnya.
Menghancurkan perlindungannya hingga membuat isinya keluar. Mengucurkan tetes
demi tetes cairan merah segar yang kental.
Sakit?
Itu tak dirasakan oleh Viona sama sekali saat ini. Rasa sakitnya tak sebanding
dengan luka di hatinya yang kini menganga lebar melihat sahabat kesayangannya
hancur.
Perlahan
tapi pasti air langit mulai turun. Mengguyur Nirvana dan Viona yang kini berada
di jalanan tanpa perlindungan. Membuat keduanya basah kuyup. Namun sama sekali
tak dihiraukan oleh mereka. Rasa dingin itu, suara petir yang menggelegar itu,
tak membuat mereka bergidik sedikit pun. Tak membuat mereka terbesit pikiran
untuk enyah dari tempat itu juga.
“Aku
sudah pernah bilang bukan padamu? Kau takkan pernah bisa mengalahkanku. Takkan
pernah, walau hanya dalam mimpi sekalipun.”
***
0 komentar:
Posting Komentar