Clara
Aku takkan menyalahkanmu jika kau mengatakan aku gila. Pesakitan
yang membuang-buang uang hanya karena putus cinta. Yah, rela menggelontorkan
uang hampir $ 9.199 hanya untuk berlibur di atas sebuah kapal Seven Seas
Voyager selama tujuh belas hari untuk mengarungi Laut Cina Selatan.
Cinta, sebuah hal magis yang sulit untuk disangkal. Yah,
karena saat kau jatuh cinta semua hal yang berhubungan dengannya akan menjadi
hal yang menarik. Rela melakukan apapun hanya demi dia. Catat, hanya demi dia!
Begitu juga saat putus cinta. Kau rela membuang kewarasan dan masa muda hanya
demi memikirkan kenangan dengannya di kamar. Mendekap selama berhari-hari tanpa
makan dan minum. Entah berapa kotak tisu yang terbuang dan berceceran di
lantai. Aku sudah lupa. Untung saja Mama cepat ambil inisiatif dengan
menyuruhku liburan. Kemanapun aku mau. Sehingga tak sampai parah dan masuk
rumah sakit jiwa.
Di sinilah aku sekarang, duduk di atas sofa berwarna
coklat muda di balkon belakang kapal. Mataku tak henti memandang lurus ke
depan. Walaupun sepanjang mata memandang hanya ada birunya laut dan awan, aku
tetap senang. Di tengah suara deburan ombak yang terus menghantam badan kapal
dan terik matahari yang menghangatkan tubuh, aku merasakan kedamaian. Entah
kapan terakhir kali aku berlibur hingga lupa bagaimana rasanya merilekskan
tubuh seperti saat ini.
Kuteguk segelas cocktail dalam gelas segitiga di meja.
Warnanya sebiru lautan di depan mataku. Dengan sepotong lemon sebagai garnish.
Aku tak peduli pada kenyataan bahwa liburan kali ini benar-benar menguras kantong.
Tapi yang pasti, aku mendapatkan hal setimpal atas apa yang aku keluarkan.
Dahiku mengernyit mendengar suara piano yang memainkan lagu
Someone Like You milik Adele. Kelihaian jemari pemainnya menarikku untuk
bangkit dan mendekat. Masuk ke bagian dalam dekat kolam renang. Seingatku di
sana ada sebuah grand piano berwarna putih yang tadi malam sempat kugunakan.
***
Evan
Tepuk tangan riuh menggema di udara begitu lagu milik
Adele selesai kumainkan. Orang-orang terlihat begitu bahagia mendengar
permainanku. Perlahan, aku bangkit dari kursi dan sedikit membungkuk untuk
mengucapkan terima kasih. Namun, tiba-tiba sepasang kaki dengan wedges berpita warna merah muda nampak
di depan mataku. Aku pun mendongak dan melihat seorang gadis berambut panjang
sepunggung berdiri tepat di hadapanku. Gingsul di bagian kiri giginya membuat
senyumnya tampak menawan.
“Hai…," sapanya.
Aku pun membalas senyumnya seraya berkata, “Hai, ada yang
bisa aku bantu?”
Suara langkah kaki penonton beradu dengan lantai yang
terbuat dari kayu. Sedikit berisik sesungguhnya. Membuatku agak kesulitan
mendengarkan kalimat yang dilontarkan gadis di hadapanku.
“Aku suka permainanmu.”
“Hah?” Aku menganga mendapati ada seseorang yang
mengapresiasi permainanku dan mengatakannya secara langsung. Sangat jarang.
Mengingat ini pertama kalinya aku menunjukkan bakat di depan banyak orang. “Terima
kasih,” ungkapku sedikit malu-malu.
“Ehm, mau duduk di sana?” tanyanya seraya menunjuk kursi
kosong di depan meja bar. “Aku traktir.”
“Oke, no problem.”
Desahan angin yang masuk melalui celah-celah geladak
kapal menyapu poninya. Membuat mataku membulat sempurna. Berbinar-binar
memperhatikannya yang duduk dengan menyilangkan kaki di atas kursi bar berlapis
busa warna putih.
“Permainan kamu ngingetin aku sama seseorang.”
“Seseorang?” Dahiku mengkerut.
“Seseorang yang brengsek.”
Aku meneguk ludah dalam-dalam melihat kilatan penuh
kebencian di matanya. “Sori.”
Dia menggeleng seraya mengatakan kalau aku tak perlu
meminta maaf. Tak ada gunanya. Suara riak air yang menghantam kapal terdengar
lembut di telinga. Beriringan dengan hembusan angin yang terus mengajak rambut
gadis di depanku menari. Gadis itu menengok ke luar. Matanya menyipit
memperhatikan satu titik yang kulihat tak ada apa-apa selain laut dan awan yang
biru.
“Kita akan segera sampai,” ungkapnya gembira.
“Sampai?” tanyaku tak mengerti.
“Bisakah lain kali kau memainkan lagu itu untukku?
Mungkin kau bisa menghapuskan kenangan buruk dalam lagu itu.”
Aku mengangguk. “Tentu.”
Gadis itu pun turun dari tempat duduknya. Melangkahkan
kakinya pergi meninggalkanku sendirian. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Reflek,
tanganku terulur ke depan dan berteriak, “Tunggu!”
Gadis itu pun berhenti berlari. Ia memutar tubuhnya dan
menatapku penuh tanya.
“Aku belum tahu siapa namamu?!”
“Clara. Kau bisa memanggilku Clara.”
Ia pun kembali memutar tubuhnya dan pergi menjauh. Clara,
akan kuingat baik-baik nama itu. Seorang gadis bergigi gingsul yang punya trauma
dengan lagu Someone Like You.
***
#KaramDalamKata #KampusFiksi -11 Januari 2014- 661 kata
0 komentar:
Posting Komentar