Di pengujung
bulan Desember usia kesembilan belasku, Dokter Ana menyimpulkan aku positif
terkena penyakit kuning. Semua ciri-ciri dan diagnosa merujuk ke hasil yang
sama. Hepatitis. Namun, Dokter mengatakan jika aku akan baik-baik saja.
Hepatitis yang kuderita belum kronis dan masih bisa disembuhkan.
Masih
segar benar diingatanku kala itu Mama menangis cukup keras mendapati hasil diagnosa. Seperti aku akan mati. Padahal, Dokter mengatakan aku akan baik-baik
saja. Hanya ada satu hal di dunia ini yang lebih menyebalkan daripada mati
gara-gara hepatitis di usia sembilan belas, yaitu punya anak yang mati
gara-gara hepatitis.
Maka
disinilah aku sekarang. Tidur di atas ranjang rumah sakit dan tak dapat
melakukan aktivitas berarti. Makanan di sini juga memuakkan. Berbau obat dan
membuatku kehilangan nafsu makan.
Satu-satunya
penyelamat dari kebosananku di rumah sakit adalah Kelvin. Setiap hari ia
menyempatkan datang untuk menjengukku. Sekadar untuk melihat keadaanku atau
berbincang. Terkadang, ia juga membawa oleh-oleh. Seperti saat ini, ia membawa
setangkai mawar merah yang berduri. Potongan di tangkai mawar itu tampak
berantakan. Aku yakin dia baru saja memetiknya di taman belakang kampus.
“Sungguh
kau tak memetik mawar ini di taman belakang kampus?” tanyaku menyelidik. Mataku
menyorot tajam ke arahnya. Seperti polisi yang menginterogasi tersangka.
Kelvin menggeleng,
ia menggoyang-goyangkan tangan di depan dada. “Enggak kok. Haha, mana mungkin
aku kayak gitu? Aku kan anak baik. Hehe….”
“Cih….”
Aku berdecak mendengar setiap kata bernada memuji diri sendiri yang keluar dari
mulutnya. Entah kenapa, sebuah perasaan ganjil tiba-tiba menyelimuti hatiku
melihat ia yang tersenyum polos. Hening dan canggung yang berkepanjangan tak
dapat terelakkan. Kelvin dan aku saling bertatapan dalam diam. Hanya terdengar
suara tetes demi tetes infus yang terhubung dengan tubuhku.
“Tutup
matamu dong!” pintanya memecah keheningan.
“Hah?”
“Tutup
mata kamu!”
“Ngapain?”
“Udah
buruan, jangan banyak tanya!” Kelvin pun menarik tanganku dan meletakannya ke
depan mata. Ia benar-benar serius dengan apa yang dikatakannya. Membuatku bingung
apa maunya. Permintaannya terasa ganjil.
Sebuah
kecupan mendarat di keningku. Tanpa bisa kucegah. Sontak, aku menurunkan tangan
dan membelalakan mata. Memelototi seseorang yang telah dengan lancang mencuri
ciuman dariku. Namun yang dipandangi justru tertawa cenderung mengejek.
“Mulai
sekarang, kamu milikku. Tak ada yang boleh mendekatimu. Titik. Aku
pulang dulu ya. Cepet sembuh.”
Kelvin
kembali mendekatkan kepalanya pada keningku. Tapi, ada yang salah di sini. Aku
justru bergeming dan tak melakukan pemberontakan apapun ketika ia mendekat. Aku
justru memejamkan mata dan menikmati.
“Bye!” ungkapnya seraya menjulurkan
lidah. Bahagia karena berhasil membuatku diam tak berkutik. Menuruti semua yang
ia inginkan.
Aku
menghela napas panjang begitu Kelvin dan lambaian tangannya menghilang di balik
pintu. Perasaanku tak keruan. Jantung yang berdetak lebih cepat, aliran darah
yang tak tepat, dan kesulitan bernapas.
Sekuat
tenaga aku menggeleng dan meyakinkan diri jika hal itu salah. Tak mungkin
terjadi. Semua perasaan dan kelakuan anehku ini tak mungkin merujuk pada hal
itu. Jatuh cinta. Aku tak boleh menyukainya. Kenyataan bahwa Kelvin adalah anak
dari Om Andre yang akan segera menikah dengan Mama membuat kepalaku pening.
“Ini tak boleh terjadi!”
*
#KampusFiksi 1/25/2015 #KataSebuahNapas
0 komentar:
Posting Komentar