Minggu, 25 Januari 2015

Kiss

0



                Di pengujung bulan Desember usia kesembilan belasku, Dokter Ana menyimpulkan aku positif terkena penyakit kuning. Semua ciri-ciri dan diagnosa merujuk ke hasil yang sama. Hepatitis. Namun, Dokter mengatakan jika aku akan baik-baik saja. Hepatitis yang kuderita belum kronis dan masih bisa disembuhkan.
                Masih segar benar diingatanku kala itu Mama menangis cukup keras mendapati hasil diagnosa. Seperti aku akan mati. Padahal, Dokter mengatakan aku akan baik-baik saja. Hanya ada satu hal di dunia ini yang lebih menyebalkan daripada mati gara-gara hepatitis di usia sembilan belas, yaitu punya anak yang mati gara-gara hepatitis.
                Maka disinilah aku sekarang. Tidur di atas ranjang rumah sakit dan tak dapat melakukan aktivitas berarti. Makanan di sini juga memuakkan. Berbau obat dan membuatku kehilangan nafsu makan.
                Satu-satunya penyelamat dari kebosananku di rumah sakit adalah Kelvin. Setiap hari ia menyempatkan datang untuk menjengukku. Sekadar untuk melihat keadaanku atau berbincang. Terkadang, ia juga membawa oleh-oleh. Seperti saat ini, ia membawa setangkai mawar merah yang berduri. Potongan di tangkai mawar itu tampak berantakan. Aku yakin dia baru saja memetiknya di taman belakang kampus.
                “Sungguh kau tak memetik mawar ini di taman belakang kampus?” tanyaku menyelidik. Mataku menyorot tajam ke arahnya. Seperti polisi yang menginterogasi tersangka.
                Kelvin menggeleng, ia menggoyang-goyangkan tangan di depan dada. “Enggak kok. Haha, mana mungkin aku kayak gitu? Aku kan anak baik. Hehe….”
                “Cih….” Aku berdecak mendengar setiap kata bernada memuji diri sendiri yang keluar dari mulutnya. Entah kenapa, sebuah perasaan ganjil tiba-tiba menyelimuti hatiku melihat ia yang tersenyum polos. Hening dan canggung yang berkepanjangan tak dapat terelakkan. Kelvin dan aku saling bertatapan dalam diam. Hanya terdengar suara tetes demi tetes infus yang terhubung dengan tubuhku.
                “Tutup matamu dong!” pintanya memecah keheningan.
                “Hah?”
                “Tutup mata kamu!”
                “Ngapain?”
                “Udah buruan, jangan banyak tanya!” Kelvin pun menarik tanganku dan meletakannya ke depan mata. Ia benar-benar serius dengan apa yang dikatakannya. Membuatku bingung apa maunya. Permintaannya terasa ganjil.
                Sebuah kecupan mendarat di keningku. Tanpa bisa kucegah. Sontak, aku menurunkan tangan dan membelalakan mata. Memelototi seseorang yang telah dengan lancang mencuri ciuman dariku. Namun yang dipandangi justru tertawa cenderung mengejek.
                “Mulai sekarang, kamu milikku. Tak ada yang boleh mendekatimu. Titik. Aku pulang dulu ya. Cepet sembuh.”
                Kelvin kembali mendekatkan kepalanya pada keningku. Tapi, ada yang salah di sini. Aku justru bergeming dan tak melakukan pemberontakan apapun ketika ia mendekat. Aku justru memejamkan mata dan menikmati.
                Bye!” ungkapnya seraya menjulurkan lidah. Bahagia karena berhasil membuatku diam tak berkutik. Menuruti semua yang ia inginkan.
                Aku menghela napas panjang begitu Kelvin dan lambaian tangannya menghilang di balik pintu. Perasaanku tak keruan. Jantung yang berdetak lebih cepat, aliran darah yang tak tepat, dan kesulitan bernapas.
                Sekuat tenaga aku menggeleng dan meyakinkan diri jika hal itu salah. Tak mungkin terjadi. Semua perasaan dan kelakuan anehku ini tak mungkin merujuk pada hal itu. Jatuh cinta. Aku tak boleh menyukainya. Kenyataan bahwa Kelvin adalah anak dari Om Andre yang akan segera menikah dengan Mama membuat kepalaku pening.
                “Ini tak boleh terjadi!”
*
               

#KampusFiksi 1/25/2015 #KataSebuahNapas

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com