Masih teringat jelas dimemori otak saya ketika pertama
kali datang ke Jogjakarta pada malam ke dua puluh delapan di bulan November. Komentar
yang pertama kali muncul dalam benak adalah penerangan jalan di Jogja. Temaram.
Tak semeriah kota-kota metropolitan seperti Jakarta atau Surabaya. Namun
pikiran tersebut teralihkan kala seorang perempuan cantik memanggil nama saya
dan tersenyum. Yang setelah saya tanyai, bernama Vina.
Kereta api yang membawa saya dari Surabaya menuju Jogjakarta
telat datang. Dari jadwal yang seharusnya jam tujuh malam, menjadi jam
sembilan. Awalnya saya was-was. Takut jikalau mobil jemputan yang akan membawa
saya ke “rumah baru” sudah pergi. Tapi ternyata saya salah. Mobil itu telah
menunggu kedatangan saya dan yang lainnya dari jam tujuh. Sampai sopirnya, Mas
Kiki, sempat tertidur dengan pulas.
Perjalanan dari Stasiun Lempuyangan menuju gedung Kampus
Fiksi memakan waktu kurang lebih empat puluh menit. Namun lama perjalanan
tersebut sama sekali tak terasa karena terjadi guyonan ringan di dalam mobil.
Saya pun dibuat terperangah begitu tiba di tempat yang
akan menaungi para peserta Kampus Fiksi selama dua hari ke depan. Rumah
tersebut masih dalam proses renovasi. Lalu dalam benak saya pun tercipta sebuah
pertanyaan, disinikah aku akan tinggal?
Namun pertanyaan tersebut segera sirna ketika Mas Kiki mengajak saya dan yang
lainnya untuk mendaki tangga menuju lantai dua.
Sebuah pintu kayu dengan papan tulisan berdiri dengan
kokohnya di ujung anak tangga. Dengan satu gerakan tangan, gagang pintu pun
berhasil terbuka. Decitan suara pintu sukses mengalihkan perhatian para
penghuninya. Mereka pun langsung bangkit dari tempat duduk dan menyalami kami.
Memperkenalkan diri dan memberikan sebuah tas yang berisi beberapa buku dan
sticker. Salam hangat kedatangan. Sehangat saat saya berkumpul dengan keluarga
dan teman-teman.
Tak kalah dari sambutan di ruang tengah. Ketika saya
memasuki kamar untuk wanita, ternyata sudah ada beberapa orang yang
menghuninya. Bed cover berwarna merah
menyala yang bertulisakan Manchester United. Salah satu klub sepak bola dunia, juga ikut menyapa mata telanjang saya.
Dalam
sepersekian detik, ruangan pun menjadi riuh. Satu sama lain saling berjabat
tangan. Tanda perkenalan. Namun dengan jumlah orang baru sebanyak itu. Tentunya
saya tidak mungkin bisa serta merta menghapal semuanya dalam sekejap mata.
Sampai-sampai saya pernah menanyai nama salah satu peserta sekali lagi karena
saya sudah melupakan namanya tepat setelah lima detik dia menyebutkannya. Namun
saya yakin besok ada perkenalan lagi. Jadi saya tak menanyakan nama peserta
lain yang saya lupakan juga.
Hari-hari berikutnya diisi dengan canda tawa, keseruan,
berbagi ilmu dan cerita yang takkan bisa saya jelaskan semuanya satu persatu
disini. Namun yang pasti bisa saya katakan adalah kalian semua istimewa.
Anak-anak Kampus Fiksi 10 yang datang dari berbagai penjuru kota di Indonesia. Dua
puluh orang, termasuk saya.
Tak
kalah menarik, mentor, panitia, alumni dan semua orang yang berada satu atap
dan merasakan atmosfir di gedung baru Kampus Fiksi kemarin. Mereka semua adalah
calon orang-orang hebat. Di bidang seni. Bagaimana tidak? Mereka mampu
mengapresiasikan diri mereka dalam tulisan, lisan, ekspresi dan bahasa tubuh
yang tak semua orang bisa melakukannya.
Di
hari pertama, saya berhasil bangun pagi dan mendapatkan giliran mandi terlebih
dahulu. Namun hari-hari berikutnya, saya harus sabar mengantre untuk
mendapatkan giliran. Maklum saja, jumlah penghuni gedung tersebut kurang lebih
empat puluh orang. Sementara kamar mandinya hanya dua. Namun, hal tersebut
sangat berkesan dan membekas di hati saya. Tatkala saya harus “berebut” dengan
yang lainnya atau menunggu di depan kamar mandi hingga yang berada di dalamnya
keluar. Perjuangan. Pengorbanan. Untuk mandi lebih dulu. Atau saya akan telat
menerima materi yang dimulai jam delapan pagi. Hal tersebut memberikan saya
pelajaran jika ingin mendapatkan sesuatu, sesepele apapun
itu. Saya tetap harus memperjuangkannya.
Di
antara kesembilan belas peserta Kampus Fiksi yang lainnya, ada satu peserta
yang umurnya sama dengan saya. Tujuh belas tahun. Masih sekolah. Terkadang, hal tersebut
membuat saya berkecil hati. Kenapa? Karena
saya berpikir jika mereka sudah “berumur” tentunya mereka akan punya lebih
banyak pengalaman. Baik itu dalam tulisan. Maupun dalam hal menggagas sebuah ide. Namun kini,
setelah saya mengenal mereka semua. Saya tak takut lagi. Saya sudah siap untuk
berdiri di medan perang ini. Penulisan fiksi. Proses kreatif. Karena saya yakin, suatu saat nanti juga bisa menjadi seperti mereka. Tentunya jika saya terus berusaha dan tak menyerah di titik tertentu.
Selain
masalah umur, terjadi kesenjangan jumlah antara pria dan wanita dalam Kampus
Fiksi 10 kemarin. Bayangkan saja, perbandingan pria dan wanitanya adalah satu
banding empat. Hal tersebut membuat saya berpikir, apakah profesi kepenulisan
lebih banyak digemari oleh para kaum hawa daripada adam? Karena jujur saja di
sekolah saya lebih banyak pria daripada wanitanya.
Di
Kampus Fiksi ini, saya benar-benar dimanjakan dan memperoleh banyak sekali
ilmu. Baik itu dalam teknik penulisan, marketing, maupun perindustrian buku.
Pengetahuan yang akan sangat sulit untuk saya dapatkan sekaligus jika saya tak
terpilih menjadi peserta Kampus Fiksi 10. Kesempatan emas yang takkan mungkin
datang dua kali.
Bicara
masalah kesempatan, saya sudah menunggu untuk mengikuti Kampus Fiksi ini selama
satu tahun. Kala itu, saya sedang di dalam bus menuju Bandung. Dalam perjalanan
Kunjungan Industri dari sekolah.
Tiba-tiba
saya pun teringat akan hari pengumuman peserta yang lolos seleksi cerpen Kampus
Fiksi. Saya pun meminjam handphone teman yang terhubung dengan internet, karena handphone
saya belum secanggih yang sekarang untuk melihat hasilnya. Dengan hati berdebar
dan terus berikthiar. Saya pun membuka blog Kampus Fiksi. Dan seperti
keajaiban, Sim Salabim. Saya diterima!
Ada
banyak hal yang ingin saya ceritakan mengenai pengalaman dua hari kemarin
bersama teman dan anggota keluarga baru. Namun tugas akhir dan UAS
menuntut saya untuk segera menyelesaikan catatan ini dan kembali bergulat
dengan mereka terlebih dahulu.
Terima
kasih pada panitia, kakak-kakak Kampus Fiksi 10, panitia, pembimbing, Pak Edi,
Divapress, dan alumni. Terima kasih atas kesempatan yang kalian berikan
sehingga saya dapat menikmati dua hari bahagia dalam hidup saya bersama kalian.
Terima kasih atas pertemanan, persaudaran, kasih sayang, cinta, ilmu dan pengetahuan
yang telah kalian berikan.
Ada
satu kalimat Pak Edi yang saya ingat kala penutupan Kampus Fiksi di hari
terakhir bulan November kemarin. “Kita sering lupa akan perpisahan jika sudah
menghadapi sebuah pertemuan”. Dan itu benar. Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa
saya sadari kebersamaan saya bersama mereka pun akan segera tamat. Untuk saat
itu tentunya.
Semoga
jalinan persahabatan ini akan terus berjalan. Takkan pernah terputus. Seperti
amal jariyah yang akan terus dialirkan untuk Pak Edi sekeluarga. Sukses untuk
kita semua. Kampus Fiksi? Pasti Bisa!
Surabaya, 4 Desember 2014
Feni Yuli
dedek.. itu tanggalnya..
BalasHapusHahahah iya mbak. 4 desmber kudunya :D
BalasHapus