“Tante,
bohong kan?”
Tangan
Yomi gemetar memegang tangan wanita paruh baya di depannya. Berulang kali ia
meneguk ludah dalam-dalam. Dadanya naik turun tak beraturan. Kelopak matanya
telah penuh oleh butir-butir air mata.
“Kak
Galih nggak mungkin mati kan? Dia baik-baik aja kan? Iya kan tante?”
Kepala Yomi menggeleng pelan. Sekuat tenaga ia menyuntikkan pikiran positif
pada dirinya. Meyakinkan kalau Galih Fadel, calon suaminya, masih hidup.
Yomi
mengedipkan matanya. Saat itu pula air mata yang sudah sedari tadi berkumpul
jatuh untuk pertama kalinya. Membasahi pipinya. Ia menarik napas panjang
mendapati tak ada seorang pun yang menjawabnya. Semuanya menundukkan kepala
dengan ekspresi duka.
Tubuh
Yomi roboh. Ia terduduk di lantai mengingat saat dirinya bersama Galih kemarin.
Saat dimana terjadi pertengkaran yang membuat Galih melukai tangannya.
“Aku
belum sempat minta maaf sama Kak Galih. Aku belum minta maaf sama dia tante.”
Yomi mendongakkan kepalanya. Menatap mata teduh ibu Galih yang melihatnya
dengan sendu.
Hening.
Setiap pasang mata yang ada di lorong rumah sakit depan UGD itu menatap
Yomi dengan iba. Pernikahannya dengan Galih tinggal menghitung hari. Namun
kini, semuanya kandas.
“Aku
mau lihat mayatnya tante. Aku mau lihat dia untuk yang terakhir kali. Nggak apa
kan?” Perlahan Yomi bangkit dan menyejajarkan dirinya dengan ibu Galih.
“Tentu
saja boleh, sayang.” Ibu Galih meraih tubuh Yomi dan memeluknya erat seperti
putri kandungnya sendiri. Tangannya yang telah keriput dimakan usia, membelai
punggung Yomi lembut.
Perlahan
Yomi melepaskan pelukannya. Ia berjalan menuju ruang UGD yang berada tepat di
sampingnya. Tubuhnya gemetar hebat. Mendadak seluruh organ tubuhnya berhenti bekerja
ketika tangannya menyentuh gagang pintu. Ia tak siap melihat wajah Galih lagi
setelah pertengkaran kemarin. Namun tiba-tiba tangan ibu Galih sudah berada di
atas tangannya dan membantunya untuk membuka pintu. Keluarganya dan Galih juga sudah berdiri di
belakangnya.
Yomi
memejamkan matanya dan menarik napas dalam-dalam sebelum menarik gagang pintu.
Lalu dengan sekali gerakan tangannya, yang didampingi tangan ibu Galih, mampu
membuka pintu ruang UGD. Tempat dimana sebelumnya Galih telah berjuang untuk
tetap hidup.
Kaki
Yomi berjalan terseok mendekati ranjang tempat Galih bersemayam. Sekuat tenaga
ia menguatkan dirinya untuk menarik kain putih yang menutupi wajah Galih. Tepat
saat kain itu terbuka, tangisnya pecah. Air mata bergulir dengan deras.
“Aku
minta maaf. Aku minta maaf, kak. Aku yang salah. Aku egois. Aku nggak pernah
ngertiin posisi kakak. Aku selalu meminta, tapi nggak pernah sekali pun
memberi. Aku minta maaf, kak.”
Seluruh
keluarga Galih dan Yomi yang ada di dalam ruang UGD menundukkan kepala. Mereka
ikut menangis dalam diam. Merasakan rasa sakit yang juga Yomi rasakan. Namun
mungkin tak sesakit dan setersiksa Yomi. Kecuali kedua orang tua Galih.
“Aku
kekanak-kanakan. Aku boros. Aku suka hangout
sama teman-teman dan jarang peduliin kakak. Sementara kakak selalu ada tiap aku
butuh. Tapi aku nggak pernah ada waktu kakak butuh aku. Aku minta maaf udah
bikin kakak stres dan jadi nggak konsen waktu bawa mobil. Sampai.. Sampai..
Sampai kecelakaan itu terjadi. Dan membuat kakak pergi untuk selama-lamanya dari
hidup aku. Aku minta maaf.”
“Yomi…”
Ibu Galih mendekati Yomi dan merengkuh tubuhnya. “Udah sayang, udah.”
“Tapi
aku belum ngejelasin semuanya sama Kak Galih tante. Aku terlalu banyak nyakitin
dia. Dan sekarang aku udah terlambat buat minta maaf dan memperbaiki semuanya.
Aku udah terlambat…”
Ibu
Galih melepaskan pelukannya. Ia memegang
bahu Yomi erat dan menatapnya.
“Galih sayang sama
kamu. Dia nggak pernah mengeluh saat kamu nggak ada ketika dia butuh. Dia juga
nggak pernah protes dengan semua sifat buruk kamu. Dia mau buat kamu jadi lebih
baik lagi. Makanya dia nggak ninggalin kamu setelah apa yang kamu lakuin sama
dia. Galih sayang banget sama kamu, nak.”
Yomi merasa semakin
bersalah mendengar apa yang ibu Galih katakan. Namun dia memang salah dan kini
saat ia menyadari semua kesalahannya, orang yang telah membuatnya sadar telah
pergi dan takkan pernah kembali lagi.
“Lebih baik sekarang
kamu berusaha buat jadi lebih baik dan tunjukkin ke Galih kalau kamu bisa
menjadi perempuan hebat seperti apa yang ia harapkan.”
“Iya tante.. Aku janji,”
jawab Yomi dengan mantap.
-Fin
#KampusFiksi #FiksiSakit
0 komentar:
Posting Komentar