“Mas Bandung, tahu nggak masalah tentang dolly yang mau
ditutup itu?” Sebuah ide gila tiba-tiba saja merasuk ke otak kecilku ketika
sedang mengejarkan shot[1].
Jam
terasa bergulir begitu cepat hari ini. Aku merasa bom waktu akan segera meledak
sebentar lagi. Bagaimana tidak? Besok
deadline dan hari ini aku terpaksa harus pulang jam sebelas malam untuk
menyelesaikan semua assignment[2]-ku
yang masih open[3].
Namun aku tak ingin terus larut dalam hal itu. Hingga akhirnya kulontarkan saja
sebuah pertanyaan menggelitik kepada lead-ku
yang sedang serius mengerjakan shot
miliknya tersebut. Yah untuk sedikit mengurangi rasa jenuhku akan pekerjaan.
Kebetulan juga tempat duduknya tepat di depanku. Sehingga aku hanya perlu
menggeser layar LCD beberapa senti
untuk dapat melihat wajahnya dengan jelas.
“Hmm?
Kenapa? Tahu kok.” Mas Bandung menghentikkan apa yang sedang ia kerjakan
sekarang. Mendengarkan pertanyaan dari salah satu anak magang yang kebetulan
masuk ke dalam POD-nya.
“Menurut
Mas Bandung salah nggak sih mereka mempertahankan dolly sampai kayak gitu?
Sampe ada pengajian buat nolak penutupan juga lagi. Hmm.. Aku sampe ngeri baca
komen di sebuah berita yang mengatakan : ‘Jika sudah banyak orang yang membela
sesuatu hal yang batil dengan harga mati. Maka kiamat sudah dekat’. Setelah aku
pikir-pikir ada benernya juga.”
“Hmm..
Menurut kamu dolly itu udah ada disana berapa lama?”
“Mmmm..
Nggak tahu.” Aku menggeleng.
Memang
benar aku berasal dari Surabaya dan tinggal disana lebih dari sepuluh tahun.
Namun aku sama sekali tak mengetahui hal-hal yang berbau politik dan seks bebas
seperti ini. Bahkan tempat prostitusi dolly yang sering diberitakan di media
massa dan internet pun aku tak tahu tempatnya secara pasti.
“Yah,
okelah katakan saja dolly itu sudah ada sejak sepuluh tahun yang lalu. Berarti
itu udah lama kan? Dan selama itu juga dolly bisa tetep bertahan? Itu artinya
apa? Setiap tahun pasti ada yang datang dan pergi untuk mengisi dolly bukan?”
Aku
manggut-manggut. Mendengarkan penjelasan Mas Bandung dengan seksama. Dia adalah
salah satu orang yang paling kuhormati dan kuhargai di kantor ini. Mas Bandung
juga orang yang selalu mendukung dan memberikanku semangat saat orang-orang di
kantor mengolok-olokku. Dia juga tipe orang yang bisa memberikan pendapat
dengan alasan yang logis. Tanpa memihak. He’s
always there for me as my lead. He’s the best.
“Nah
hal itu juga menyimpulkan kalau banyak orang yang sudah lama menggantungkan
kehidupannya di dolly bukan? Dolly udah kayak sumber mata pencaharian utama
bagi mereka.”
“Tapi
kan itu nggak halal? Masak mereka mau terus kerja dengan hasil uang haram sih?
Mereka juga pasi udah sering dibilangin atau diolok-olok orang-orang kalau
pekerjaan mereka sebagai PSK itu nggak baik?”
“Nah
masalahnya disitu.” Mas Bandung tersenyum mendengar apa yang aku katakan.
“Yang
menjadi PSK bukanlah orang yang tidak bermoral atau beragama. Mereka sebenarnya
tahu akan itu. Bukankah kamu bilang bakal banyak orang yang mengolok-olok
mereka dan meberitahu mereka kalau apa yang mereka lakukan itu salah? Tapi mereka
masih tetap melakukanya? Iya nggak?”
“Iya.”
“Berhenti
dari hal yang buruk yang sudah menjadi kebiasaan itu lebih sulit daripada
memulai sesuatu yang baik.”
Dahiku
berkerut mendengar penjelasan yang baru saja dilontarkan Mas Bandung. Apa yang
ia katakan ada benarnya juga. Aku sendiri pun mengalami hal itu.
“Hmmm..Iya
juga sih.. Aku juga punya kebiasaan buruk suka bangun siang. Sudah banyak juga orang
yang nyeramahin dan marahin aku gara-gara masalah itu. Bahkan kadang aku telat
berangkat sekolah karena sering kesiangan. Tapi aku tetap melakukannya. Tak
semudah itu menghilangkan kebiasaan buruk.”
“Nah,
iya kan? Apalagi jika itu merupakan sumber mata pencaharian mereka
satu-satunya.”
“Hmm..
Iya sih. Tapi nggak bisa dibenerin juga apa yang udah mereka lakuin. Yang salah
ya tetep salah. Ah, kenapa tiba-tiba jadi ngomongin politik begini?” Aku
garuk-garuk kepala mengingat permasalahan yang sejak tadi kubahas dengan Mas
Bandung.
“Hahhaha..
Kamu lucu nduk[4]..
Kamu sendiri yang mulai membuka topik. Tapi bingung dan terkejut juga dengan topik
yang kamu buat.”
“Oh
iya, Mas Bandung tanggal 9 juli besok milih siapa? Aku belum punya KTP jadi
belum bisa nyoblos. Hiks..”
“Hahahha..
Kasihan.. Nggak tahu nih mau ikut nyoblos apa nggak. Kalo cuma ngasih KTP udah
boleh ikutan. Ya udah aku ikutan.”
“Hmm
oke-oke.. Makasih mas.”
“Yup,
nggak masalah. Asal assignment yang
ada di my assignment-mu itu habisin.
Awas aja kalo nggak habis.”
“Yah
ujung-ujungnya ngomongin kerjaan lagi.” Seketika kepalaku tertunduk. Dengan
sekali gerakan memutar, kepalaku sudah
kembali menghadap layar LCD. Mas Bandung yang melihat hal itu langsung tertawa
dibuatnya.
***
0 komentar:
Posting Komentar