Minggu, 13 Juli 2014

Belajar Sabar

0




            “Mana sih Pak Tua itu? Lama sekali datangnya! Nggak tahu ini udah mau imsak apa?” Seorang laki-laki, salah satu pegawai Studio Anima mencibir kepala pegawai yang bertugas di kantin.
            “Iya.. Aisshh.. Lelet banget sih itu orang! Beneran deh!” Salah satu temannya menimpali, menyetujui pendapatnya.
            “Yeee.. Goaaall!!” Sementara kedua sahabat itu sibuk mencibir kepala pegawai di kantin, anak-anak Studio Anima yang lain sibuk menonton piala dunia bersama. Kebetulan ruang televisi dan pantry di Rusun Cowok terletak bersebelahan. Sehingga ketika makanan datang, mereka bisa langsung mengambilnya.
            Aku menghela napas panjang melihat sikap orang dewasa di sekelilingku. Ada yang berperilaku sesuai umurnya. Ada juga yang bersikap kekanak-kanakan. Seperti orang-orang yang mencibir dan menyalahkan kepala pegawai di kantin itu. ‘Kedewasaan’ mereka benar-benar patut dipertanyakan.
            Nyanyian cacing-cacing yang kelaparan minta diberi asupan terdengar nyaring di telinga. Bukan, cacing-cacing itu bukan berasal dari perutku. Melainkan dari perut sahabatku. Teman sekamarku. Ia meringis melihatku menyadari akan hal itu dan menoleh kepadanya. Namun dia hanya diam. Tak mengatakan komen apapun tentang ketelatan kepala pegawai di kantin Studio Anima.
           Beberapa menit kemudian, Pak Tri, kepala pegawai di kantin Studio Anima datang bersama para pegawainya. Tentu saja mereka datang bersama makanan sahur untuk anak-anak.
            “Maaf ya, bapak telat. Tadi mobilnya mogok. Ayo-ayo diambil makan sahurnya keburu imsak nanti,” ungkap Pak Tri tulus. Kerutan-kerutan di wajahnya terlihat sangat jelas di balik senyumannya. Yah, hasil dari dimakan usia.
            “Tolong ya pak, besok lagi kalau nganter makanan buat sahur yang agak cepat sedikit. Kalau kita nggak bisa makan sahur karena bapak telat datang, emang bapak mau tanggung jawab akan puasa kita hari itu apa?” Laki-laki itu mengungkapkan semua emosinya pada orang yang sedari tadi ia cibir. Padahal jelas-jelas Pak Tri sudah minta maaf tadi.
            “Iya, nak. Maafin bapak ya.”
            “Ck..” Laki-laki itu membuang mukanya. Tak ingin melihat wajah bapak tua itu lagi. Padahal Pak Tri tersenyum dengan tulus padanya untuk meminta maaf.
            “Mas!” Ku sentuh punggungnya pelan dari belakang.
            “Apa? Kamu anak magang yang baru dateng itu kan? Ngapain?”
            Ketus. Itulah nada bicaranya padaku saat ini. Padahal aku sama sekali tak ada salah apapun dengannya. Apa memang dia orangnya seperti itu? Bukankah seharusnya ia berubah dan menjadi lebih baik lagi di bulan puasa ini? Mengurangi sedikit sifat ketusnya yang bisa menyakiti hati orang lain itu?
            “Bisa minta tolong yang sopan dikit nggak sama yang lebih tua? Pak Tri kan udah minta maaf tadi. Nggak perlu ngomong kasar gitu kan ke beliau?”
            “Emang kamu siapa? Berani-beraninya bilang kayak gitu sama aku! Umur kamu sama aku aja lebih tua aku. Nggak usah sok nasehatin deh.”
            Pak Tri yang melihatku beradu mulut dengan laki-laki itu menjadi tak enak hati. Ia melangkahkan kakinya mendekatiku. Menengahi. “Sudah, nduk. Bapak ndak apa kok. Kamu nggak perlu khawatir. Sekarang kamu minta maaf sama Mas Angga ya. Apa yang dia bilang ke bapak tadi bener kok. Nggak ada yang salah.”
            “Ya tapi seengaknya dia bisa bilang dengan lebih sopan dikit kan, pak? Dia kan jauh lebih muda daripada bapak?”
            Pak Tri tersenyum. “Bapak nggak apa kok. Ayo sekarang kamu minta maaf.”
            Melihat senyuman Pak Tri yang seperti itu aku jadi tak enak hati. Akhirnya dengan berat hati aku minta maaf juga pada Mas Angga. “Maafin aku mas.”
            Mas Angga, orang yang tadi dibela Pak Tri itu bungkam. Tak membalas permintaan maafku. Ia sibuk mengantre untuk mengambil makanan. Benar-benar membuatku naik darah!
            Pak Tri tersenyum kepadaku melihat Mas Angga yang bersikap acuh. “Udah nggak apa, nduk. Nggak usah dipeduliin. Kamu antre ambil makan juga sana. Jangan mudah tersulut emosi kayak tadi lagi ya? Nggak baik. Ini bulan puasa kan? Harusnya kita bisa lebih sabar menghadapi orang-orang. Mungkin Mas Angga sedang ada masalah. Makanya dia bersikap seperti itu.”
            Subhanallah.. Pak Tri yang sudah diperlakukan seperti itu oleh Mas Angga masih bisa bersikap husnudzon padanya? Sedangkan aku? Ahh.. Aku merasa tak enak hati.
            “Iya pak.. Maafin Dini ya. Bapak udah makan sahur kan?”
            “Sudah. Sekarang kamu buruan antre gih. Tuh temen sekamar kamu udah mau dapet makan.”
            “Oke pak. Dini antre dulu ya.”
            “Iya. Semoga puasa kita bisa lancar hari ini.”
            “Amin.”
***

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com