“Kamu masak dan nyiapin ini semua dari pagi cuma demi Ihsan doang?”
Lea mengangguk. Semburat kemerahan tanpa permisi datang dan hinggap di pipinya. Senyum simpul di wajahnya membentuk lesung pipit yang mampu membuat siapapun bertekuk lutut. Rambut panjang sebahunya ia kuncir kuda. Ia tak ingin rambutnya yang panjang itu melambai-lambai dan menganggu kegiatannya ketika membuat masakan spesial untuk kakak kelasnya itu.
“Hambar banget..” Lea menjulurkan lidahnya merasakan spaghetti buatannya. Ia menambahkan beberapa bahan lain untuk untuk memperbaiki citarasanya. Selesai menambahkan saus sambal, garam dan gula, ia mengaduknya hingga rata selama beberapa menit.
“I think it’s enough.”
Gadis berkuncir kuda itu mengecilkan api kompornya. Ia mengambil garpu yang tergeletak di sampingnya. Jemari mungilnya bersatu dan menggerakan garpu itu mendekati teflon yang berisi spaghetti. Ia putar-putar garpu itu untuk membuat gulungan mi. Matanya berbinar-binar merasakan sensasi campuran bawang bombay, daging, jamur, paprika, bawang putih, garam, gula dan tentu saja spaghetti di lidahnya. Bercampur dengan enzim ptialin di mulutnya. Lolos dengan sempurna ke kerongkongannya.
Kotak makan berwarna biru yang tergeletak di sampingnya telah siap menerima hasil keringatnya sejak tadi pagi. Yah, Lea rela bangun pagi-pagi buta hanya untuk pergi ke pasar dan memasak spaghetti. Hari ini kakak kelasnya itu ada jadwal latihan basket di sekolah jam sembilan.
Perlahan Lea menaruh sebagian spaghetti yang ia buat ke kotak makan. Tak lupa ia menaburkan parutan keju dan potongan parsley sebagai toping. Tambahan bahan yang tentu akan membuat spaghetti buatannya semakin istimewa. Baik itu dari segi penampilan maupun rasa.
“Kamu seriusan bikin itu buat Si Ihsan?” tanya laki-laki itu lagi. Laki-laki yang sejak tadi berdiri di samping Lea dan memperhatikan wajah gadis itu tak luput dari rona kebahagiaan.
“Kamu kenapa sih? Iri? Cemburu?” sungut Lea.Tak kalah ketus dengan nada yang laki-laki itu keluarkan.
“Cemburu? Sama cowok kayak Ihsan? Cih.. Aku seratus kali lebih baik daripada dia. Aku yakin kalo kita nggak sedarah kamu pasti udah naksir sama aku. Iya kan? Ngaku aja!”
“Sombong banget sih kamu? Udah ah, sana pergi! Nanti aku bilangin mama lo!” Lea memelototi saudara kembarnya, Levi. Laki-laki itu nampak tersenyum kecut melihat saudaranya yang satu itu benar-benar tak pernah mendengar apa yang ia katakan.
“Yaudah, terserah kamu aja, Le.” Ketus, nada suara Levi benar-benar ketus saat ini. Padahal ia hampir tak pernah berkata kasar sedikit pun pada adik kembarnya itu.
***
Samar-samar Lea mendengar suara Ihsan sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon. Ia memegang gagang pintu kamar Ihsan dan menariknya perlahan, tak ingin membuat si empunya kamar terkejut. Saat ini ia sudah berada tepat di depan kamar Ihsan. Sebelumnya ia sudah beberapa kali datang sehingga hampir semua orang di rumah Ihsan sudah tahu siapa dia. Tak sulit lagi baginya untuk mendapat izin masuk ke rumah berlantai dua itu.
“Lea? Kamu pikir aku suka sama Lea? Kamu udah gila apa?”
Sontak gadis yang berdiri di depan pintu itu membeku. Kalimat yang tanpa sengaja masuk ke dalam telinganya itu mampu membuatnya tak menghirup oksigen dan mengeluarkan karbondioksida selama beberapa detik. Sukses membut matanya melotot dan tangannya yang membawa kotak makan gemetaran.
“Aku nggak suka sama dia. Aku cuma..” Ihsan menghela napas panjang. Kata-katanya terpenggal. Membuat lawan bicaranya yang berada di seberang sana kesal.
“Kamu tahu kan dia suka sama aku? Nah dia kan pinter tuh, selalu jadi juara kelasnj dan sering menang lomba. Sementara aku? Aku hampir selalu remidi tiap ada ulangan. Bidang studi apapun itu. Sampai mama ngancem bakal nyuruh aku les dan nggak boleh main lagi kalo nilaiku tetap jelek. Iya kan? Aku pernah cerita masalah itu dulu sama kamu kalo nggak salah?”
Deru napas Lea memburu. Kini seluruh tubuhnya gemetaran. Tak siap mendengar kalimat apa yang akan keluar dari mulut Ihsan selanjutnya. Sebenarnya hatinya tak ingin mendengar kata-kata apapun lagi dari mulut kakak kelasnya yang satu itu. Semakin ia mendengar banyak hal. Semakin banyak rasa sakit yang akan ia dapatkan. Namun egonya melarangnya untuk pergi sekarang. Ia tak ingin menyesal karena melewatkan kalimat terakhir yang menjadi inti dari semua percakapan yang ia curi dengar dari balik pintu itu sedari tadi.
“Aku cuma manfaatin dia. No more. Aku suka sama cewek lain. Tentunya bukan Lea.”
Tubuh Lea hampir saja jatuh terhuyung ke lantai. Jika saja pembantu di rumah Ihsan yang kebetulan lewat tak menangkapnya. Raut wajah wanita paruh baya itu nampak khawatir.
“Nggak apa Mbak Lea?” Tubuh Lea penuh keringat. Deru napasnya tak beraturan.
“Saya nggak apa kok, bi. Tolong kasih ini ke Kak Ihsan ya? Makasih.” Tak ada senyuman manis di wajah gadis itu lagi. Yang ada sekarang hanyalah senyuman palsu. Senyum yang sarat akan rasa sakit.
Kaki Lea berlari secepat yang ia mampu untuk keluar dari rumah itu. Kelopak matanya sudah penuh akan butiran-butiran air mata yang siap terjun bebas kapan saja membasahi pipinya.
Sekarang aku tahu, Lev, apa maksud kamu. Aku nggak percaya dia anggep aku kayak gitu. Maaf aku udah nggak percaya sama kamu.
***
Kampus Fiksi, #DeskripsiBakso (17/6/2014)
Jumlah kata : 797
Tanpa kata lalu, lantas, kemudian dan terus.