“Berapa?” tanya seseorang dengan nada berbisik.
“Lima puluh ribu.”
“Tak bisakah lebih banyak?” tanya orang tersebut lagi. Ia
sepertinya tak puas jika harus dihargai dengan lima puluh ribu. Nilai tersebut
mungkin terlalu kecil baginya. Orang tersebut datang memakai banyak benda-benda
mewah. Kalung, gelang, anting dan cincin. Semuanya berkilauan, menyilaukan
setiap pasang mata di tempat tersebut. Selain itu, bajunya juga bermerek. Dress
model Syahrini dengan dandanan yang cukup menor. Blush on, lipstick, eyeliner, semuanya dipakai secara berlebihan.
“Bukankah sudah diberi pengarahan kemarin?”
“Tak bisakah anda menaikkan sedikit nilainya untuk saya?”
Orang tersebut mengedipkan sebelah matanya. Mungkin jika ia masih muda, hal itu
akan manjur untuk merayu para petugas yang sedang duduk di hadapannya. Tapi
ini?
“Ini sudah kesepakatan. Maaf saya tak bisa mengubahnya.”
Akhirnya wanita paruh baya tersebut hanya mampu
mengerucutkan bibirnya. Ia mendesah kesal seraya mengambil salah satu temanku
yang ditumpuk disamping para petugas. Temanku tersebut nampak resah dipegang
oleh wanita itu dengan kuat. Diremas-remas.
Samar-samar
dapat kudengar suara orang-orang yang sedang mengeluh menunggu gilirannya.
Mereka mengibas-ngibaskan tangan mereka ke udara. Mungkin dengan begitu mereka
akan merasa lebih baik.
Hari
ini cuaca memang cukup terik. Musim hujan tak kunjung datang walaupun ini sudah
memasuki bulan desember. Cuaca mulai tak menentu sejak global warming menjadi isu yang serius di dunia.
Satu
persatu temanku mulai mendapatkan tuannya. Mereka hanya pasrah. Tak mampu
berteriak, protes maupun meronta. Sekalipun bisa, para manusia itu tak akan
mampu untuk mendengarkannya. Mereka mahluk hidup yang diberi akal dan pikiran.
Namun terkadang, hanya karena segelintir uang dengan mudahnya mereka dapat
ditipu. Bahkan orang-orang yang sudah memiliki kehidupan yang cukup mapan pun
juga mengharapkan uang yang tak ada apa-apanya dengan nasib bangsa mereka lima
tahun berikutnya. Yang mereka pikirkan hanyalah uang yang mereka dapatkan
sekarang. Yah, tak peduli berapapun itu.
Aku
mengerti mereka diliputi banyak masalah. Raut wajah mereka mengatakan semuanya
padaku. Kesedihan, kebahagiaan, kebingungan, maupun kerakusan. Semua tercetak
dengan jelas di wajah-wajah tersebut. Ajaibnya, dengan mudah aku dapat menebak
artinya! Namun bukan berarti itu bisa
mereka jadikan alasan untuk menjual nasib bangsa mereka semurah itu bukan?
Sekarang
aku sudah berada di bagian paling atas. Mungkin sebentar lagi giliranku. Masuk
ke dalam bilik bersama salah satu orang yang rakus ini. Orang-orang yang tak
mempedulikan bagimana nasib bangsa mereka kelak.
Seorang
pemuda yang cukup tinggi mengambil diriku yang berada ditumpukan paling atas.
Ia tersenyum seraya membawaku dengan penuh keyakinan masuk ke dalam bilik. Di
dalam bilik, aku dapat melihat dengan jelas raut wajahnya. Perasaanya,
berhadapan denganku.
Bulir-bulir
bening mengucur dipelipisnya. Ia tak seyakin tadi ketika membawaku masuk. Ragu-ragu
ia mulai mendekatkan sebuah benda yang bertubuh runcing padaku. Perlahan ia mulai
mengarahkan benda tersebut pada gambar yang memiliki nomor urut tiga. Ia memejamkan
matanya. Lalu menarik nafas dalam-dalam. Dimulai dengan membaca bismillah, ia
menusukkan benda tajam itu padaku. Tepat pada gambar dengan nomor urut tiga.
Setelah itu ia melipat-lipat tubuhku dan membawaku keluar dari bilik.
“Nomor
satu kan?” tanya seseorang ketika ia akan memasukkan diriku ke dalam kotak. Ia
hanya tersenyum menanggapi perkataan
orang tersebut. Tak berapa lama kemudian orang tersebut merogoh sakunya dan memberikan
selembar uang berwarna biru bernominal lima puluh ribu kepada pemuda tersebut.
Sekali lagi dengan sopan ia menolak uang tersebut dan memasukkanku ke dalam
kotak.
“Dasar
orang aneh!” celetuk petugas yang berjaga di kotak tempat aku sekarang berada.
Pemuda tersebut mulai menjauh, meninggalkan tempat yang penuh dengan tindakan
kotor ini.
Terkadang
aku ingin bertanya pada orang-orang yang tega menjualku dengan selembar uang
lima puluh ribu maupun seratus ribu. Apakah
semurah itu harga kelangsungan negaranya lima tahun mendatang? Tak
bisakah aku dan teman-temanku dihargai seperti pemuda tadi menghargaiku? Namun apa daya. Sekuat apapun aku berusaha,
hingga suaraku serak dan habis sekali pun. Tak ada seorang pun yang mampu
mendengarku. Tak akan pernah.
***
#NarasiSemesta (29 juni 2014)